Jumat, 30 November 2012

Percikan Derai Cinta 4



Masa terus melaju bersama peredaran bumi dan matahari. Hangatnya sinar mentari, birunya laut, sepoi angin,  jernihnya air sungai, hijuanya tanaman di bumi, bunga yang berwarna-warni, semua itu terus tunduk pada titah Ilahi.  Titah Ilahi akan terus menyelimuti perjalanan makhluk hidup di bumi. Ya, titah Ilahi! Seluk-beluk kehidupan telah terakam. Semua hal yang akan terjadi di masa depan manusia dan seluruh makhluk hidup telah tercatat di dalam memori Lauh al-Mahfudz. Maha Suci Allah, Penguasa Alam dan seisinya…

Keluarga Kiai Nawawi sedang dilanda sendu. Hal tersebut muncul, berawal dari tidak adanya pengganti Bu Nyai yang akan mengampu tahfidz al-Qur'an untuk santri putri. Umur Bu Nyai pun sudah mulai di makan waktu. Seandainya Gus Adib jadi meminang Nabila, sudah tentu generasi pengampu  al-Qur'an santri putri akan terputus. Nabila bukan seorang hafidzah. Dia memang jago masalah nahwu dan  mumpuni akan kitab-kitab turats, namun hal tersebut tidak cukup menggantikan posisi Bu Nyai. Yang dibutuhkan saat ini adalah seorang hafidzah pengganti Bu Nyai. Bisa saja sebenarnya mendatangkan seorang santri ataupun pengampu dari luar untuk santri putri. Namun, hal tersebut akan menjadi sesuatu yang aib bagi Keluarga Kiai Nawawi. Bagaimana mungkin, silsilah ningrat hafidz dan hafidzah sejak dulu akan terputus, gara-gara Gus Adib menikahi Nabila. Sudah seharusnya Gus Adib menikah dengan seorang hafidzah yang akan menjaga darah ningrat tersebut!

"Umi, saya tak bisa menikah dengan wanita lain," kata Adib kepada ibunya. Wajahnya terlihat murung.
"Nak, masih banyak wanita lain yang lebih baik daripada Nabila," kata Bu Nyai membujuk.
"Putrinya Kiai Nurudin dari pondok pesantren Miftahul Huda itu juga tak kalah menarik; cantik, putih, hafidzah, santun pula," Kata Bu Nyai melanjutkan. Dia memandangi putranya itu dengan penuh harap.
"Gimana, nak?"
"Mi, saya sudah terlanjut mencintai Nabila," kata Adib sambil melepaskan peci putihnya. Wajahnya tertunduk.
"Nak, benar kata umimu itu!" kata Kiai Nawawi yang tiba-tiba datang, mendengar percakapan keduanya.
"Kita butuh generasi penerus yang hafidzah," Kiai Nawawi memegangi bahu putranya.  Adib tetap tertunduk.
"Jika kau jadi menikahi Nabila, berarti sanad keluarga hafidz dan hafidzah bebuyutan kita akan terputus. Wes to, nurut saja pada abah dan umimu!"

Adib membisu. Beberapa saat kemudian, dia beranjak, meninggalkan kedua orang tuanya.

"Bi, saya sebenarnya tak sampai hati memaksa Adib untuk menikah dengan wanita lain. Dia benar-benar mencintai Nabila," kata Bu Nyai kepada suaminya.
"Saya juga, Mi, namun ini  demi kebaikan keluarga dan santri-santri semuanya. Saya juga tak yakin, apakah Nabila mencintainya atau tidak?!"
"Entahlah, Bi…"
"Abi punya firasat, kalau Adib jadi meminang Nabila, maka akan terjadi hal-hal yang nggak baik,"  Kata Kiai Nawawi.
"Umi pun begitu! Baiklah, Bi…untuk urusan ini, umi serahkan sepenuhnya kepada Abi. Umi sungguh tak tega memaksa Adib…"
"Berdoa saja, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik," jawab Kiai Nawawi.

* * *

Adib termenung di kamar. Matanya menerawang. Pikirannya kacau. Hatinya gundah. Jiwanya terguncang. Dia tak tak tahu apa yang harus dilakukan. Pun dia juga belum tahu pasti, apakah Nabila mencintainya?! Kalaupun Nabila mampu mencintainya dan kemudian Adib jadi menikah dengannya, maka hidupnya pun tak akan tenang. Pernikahan itu sama sekali tak bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Baginya, sebuah pernikahan bukan semata-mata menggapai kebahagiaan pribadinya. Sebuah pernikahan juga untuk kebahagiaan orang tua dan saudara-saudara. Memilih pasangan hidup yang cocok untuk dirinya dan juga keluarganya, namun gimana?!

Adib masih termenung. Kemudian ia baringkan tubuhnya. Tubuhnya menjadi tak berdaya. Kelemahan akan eksistensinya sebagai manusia muncul begitu saja. Sungguh manusia tak berdaya tanpa kekuatan dari Sang Pencipta. Kini dia menatap langit-langit kamar. Dia pijit-pijit jidatnya. Adib mencoba mencari solusi akan masalah yang sedang dihadapinya. Dia mencoba mencari jalan keluar untuk pernikahan yang mampu membahagiakan dirinya dan kedua orang tuanya tercinta. Namun, semakin berpikir, dia semakin tak berdaya. Adib memaksakan dirinya bangkit, mengambil al-Qur'an di atas meja. Dia ingin menenangkan jiwanya, dengan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Dia hayati setiap kata-kata yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
            "Seandainya saya menuruti abah-umi, mungkin saya akan mampu membahagiakan mereka, walaupun kebahagiaan saya  harus saya korbankan." Tiba-tiba terbesitlah kata-kata tersebut di dalam hatinya.
            "Kapan lagi, saya akan membahagiakan orang tua, jika tidak sekarang," batinnya lagi.
            "Ya Allah….berikanlah petunjuk pada hamba-Mu yang lemah ini…" bisiknya.
            Adib masih memegang al-Qur'an. Sesekali air matanya merembes; perasaannya campur aduk, manakala merenungi makna agung ayat-ayat-Nya sekaligus masih saja merasa tertekan dengan keadaannya saat ini.
            "Seandainya Allah nantinya menakdirkan saya untuk bersanding dengan wanita pilihan abah-umi, saya akan mencoba untuk ridzo. Ya, demi kebahagiaan abah dan umi!"

* * *



Sepuluh bulan kemudian, kehidupan Latef bertambah baik. Dia sering diundang ceramah kemana-mana. Awalnya, dia ceramah di sebuah majlis pengajian di desanya. Dari sana, banyak orang yang merasa puas dengan penyampainnya. Hukum-hukum agama yang kelihatannya seram, dikemas begitu renyah, sesuai akal audience. Dia juga mampu memberikan contoh-contoh kongkret yang mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan.
Kini Latef, bukan hanya ceramah di desa-desa, namun sering diundang ke kota-kota kabupaten. Bahkan, dua kali dia memberikan ceramah ke luar propinsi. Beberapa hewan ternak, warisan ibunya dulu, dia serahkan kepada seseorang di desanya. Dari sana, nantinya ada pembagian hasil.
Latef mencoba melupakan Nabila, walaupun berat rasanya. Nabila pun kini sudah tak ada di Jawa. Dia pamit dari Pesantren Darul Qur'an, dua minggu setelah acara pernikahan Gus Adib dengan putri Kiai Nurudin dari Pesantren Miftahul Huda. Kini, Nabila bersama kedua orang tuanya di Kalimantan.
Sebelum pergi ke Kalimantan, Latef sempat menerima surat dari Nabila yang berisi permohonan maaf karena tidak membalas surat dari Latef waktu itu. Nabila pun mengatakan, bahwa suatu saat nanti dia akan kembali ke Jawa bersama kedua orang tuanya.
"Tiga tahun lagi, umurku akan berkepala tiga. Namun, sampai sekarang belum ada wanita yang menjadi tempat berbagi kasih dan cinta," batin Latef yang duduk di kursi emperan rumahnya. Sesekali ia menyerutup kopi panas di sore yang cerah itu. Dia mengelus-elus kucing putih yang manja di sampingnya. Sejak beberapa minggu yang lalu, kucing itu datang sendiri ke rumahnya. Latef memeliharanya dengan penuh kasih sayang. Dia menganggap bahwa binatang merupakan makhluk-Nya yang tidak boleh disia-siakan. Dia mengamalkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim bahwa seseorang memberi makanan atau bersodaqoh kepada hewan, makanya sodaqohnya itu diterima (seperti sodaqoh kepada manusia). Itulah Islam yang mengajarkan rasa kasih kepada semua makhluk-Nya, termasuk rasa kasih kepada hewan dan binatang-binatang yang ada.
Latef teringat kepada salah seorang wanita cantik, yang dia kenal beberapa waktu lalu. Wanita berkaca mata itu merupakan putri seorang guru agama di Magelang. Latef mengenal wanita itu, berawal dari ajakan bapaknya, yang memaksanya untuk bertamu ke rumahnya. Pak Hadi, pengagum ceramah Latef itu, memperkenalkan Latef dengan Sofia, putrinya yang baru saja diwisuda. Secara tidak langsung, Pak Hadi menawarkan putrinya kepada Latef.
"Sofia memang cantik, cerdas dan kaya. Namun, bagaimanapun, dia belum bisa menggantikan rasa cintaku pada Nabila," Latef merenung.
"Entahlah, apa yang harus aku lakukan?! Apakah aku harus menunggu Nabila yang belum ada kejelasannya atau segera menindaklanjuti tawaran bapak Sofia yang sudah jelas di depan mata?! Apakah aku harus mempertahankan Nabila yang dia sendiri tak pernah "to the point" menanggapi perasaanku padanya?! Apakah aku akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mempersunting Sofia?! Duh, Gusti….paringi kawulo pitedah…" [1]
            Latef bemaksud bangkit dari duduknya karena sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Samar-samar terdengar bunyi motor mendekati rumahnya. Latef bisa memastikan bahwa itu suara motor, karena mobil belum bisa masuk sampai ke depan rumahnya. Jalan yang menuju ke depan rumahnya masih sempit dan lumayan terjal. Latef tetap berdiri, menunggu siapa yang datang.
            "Assalamua'alaikum…"
            "Wa'alaikumussalam warahmatullah, Pak Hadi…" Kata Latef sambil buru-buru menjempu Pak Hadi.
            "Alhamdulillah, sampai juga ke rumah Nak Kiai…" Pak Hadi menyalami Latef.
            "Ayo, pak, masuk dulu!" ajak Latef.
            "Beginilah gubuk saya, pak. Kuno dan sudah reot, " Lanjut Latef sambil mengajak pak Hadi duduk di kursi ruang tamu.
            "Justru rumah seperti ini yang terkesan klasik, antik dan alami,"
            "Bapak ini bisa-bisa aja,"
            "Ngomong-ngomong bapak ini baru datang dari mana, kok sudi mampir ke gubug saya?"
            "Saya sengaja datang dari rumah ke sini, rindu pengin berjumpa dengan Nak Kiai," Pak Hadi tersenyum.
            "Subhanallah…semoga silaturahmi bapak dicatat sebagai amal baik oleh-Nya. Oh, ya, sebentar pak, saya ke belakang,"
            " Tak usah…Nak Kiai duduk saja di sini. Saya ingin membicarakan suatu hal yang sangat penting,"
            "Sebentar saja kok, pak…mau ambil ambil air minum,"
            "Sudahlah…sini to, duduk saja!" Pak Hadi mencegah Latef yang berniat bangkit. Latef pun menuruti permintaan tamunya itu.
            "Begini Nak Kiai, langsung saja, tentang Sofia,"
            "Sofia kenapa, Pak?"
            "Maksud saya, bagaimana tanggapan Nak Kiai tentang tawaran saya atas Sofia?"
            Latef tercenung. Dia diam beberapa saat lamanya.
            "Gimana, Nak?" desak Pak Hadi
            "Sofia, putriku itu butuh seseorang yang mampu membimbingnya untuk belajar masalah-masalah keagamaan. Jiwanya haus akan santapan-santapan rohani. Memang, salah saya, sejak kecil putriku itu aku sekolahkan ke sekolah-sekolah umum yang tak ada basic agamanya. Baru-baru ini saya tersadar, bahwa agama itu sangat penting. Saya tersentuh oleh ceramah-ceramah Nak Kiai yang sering mengutarakan bahwa harus ada keseimbangan lahir dan batin. Harus ada keseimbangan antara materi dan rohani." Kata Pak Hadi panjang, begitu mengharapkan jawaban Latef.
            Latef tertunduk. Dia bingung mau menjawab apa. Dia jadi gagap.
            "Ma…maa…maaf, pak…Saya belum tahu akan jawaban tepat yang harus kuucapkan…"
            "Kenapa, Nak? Bahkan Sofia dan ibunya, juga sangat mengharapkan Nak Kiai…"
            Latef menghela napas panjang. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat.
            "Begini pak…dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak sekeluarga, saya belum bisa memberikan jawaban saat ini. Berilah waktu kepada saya untuk memikirkannya. Bagaimanapun ini menyangkut perihal yang sangat agung bagi masa depan dunia dan akhirat." Katanya sopan.
            "Nggak apa-apa, Nak…hal tersebut sudah membuat bapak lega, karena secara tidak langsung Nak Kiai merespon maksud bapak sekeluarga."
            "Terima kasih, pak," kata Latef sambil tersenyum.

Bersambung ke episode 5 , Insya Allah ….