Masa terus melaju bersama peredaran bumi dan matahari.
Hangatnya sinar mentari, birunya laut, sepoi angin, jernihnya air
sungai, hijuanya tanaman di bumi, bunga yang berwarna-warni, semua itu
terus tunduk pada titah Ilahi. Titah Ilahi akan terus menyelimuti
perjalanan makhluk hidup di bumi. Ya, titah Ilahi! Seluk-beluk kehidupan
telah terakam. Semua hal yang akan terjadi di masa depan manusia dan
seluruh makhluk hidup telah tercatat di dalam memori Lauh al-Mahfudz.
Maha Suci Allah, Penguasa Alam dan seisinya…
Keluarga Kiai Nawawi sedang dilanda sendu. Hal tersebut muncul,
berawal dari tidak adanya pengganti Bu Nyai yang akan mengampu tahfidz
al-Qur'an untuk santri putri. Umur Bu Nyai pun sudah mulai di makan
waktu. Seandainya Gus Adib jadi meminang Nabila, sudah tentu generasi
pengampu al-Qur'an santri putri akan terputus. Nabila bukan seorang
hafidzah. Dia memang jago masalah nahwu dan mumpuni akan kitab-kitab
turats, namun hal tersebut tidak cukup menggantikan posisi Bu Nyai. Yang
dibutuhkan saat ini adalah seorang hafidzah pengganti Bu Nyai. Bisa
saja sebenarnya mendatangkan seorang santri ataupun pengampu dari luar
untuk santri putri. Namun, hal tersebut akan menjadi sesuatu yang aib
bagi Keluarga Kiai Nawawi. Bagaimana mungkin, silsilah ningrat hafidz
dan hafidzah sejak dulu akan terputus, gara-gara Gus Adib menikahi
Nabila. Sudah seharusnya Gus Adib menikah dengan seorang hafidzah yang
akan menjaga darah ningrat tersebut!
"Umi, saya tak bisa menikah dengan wanita lain," kata Adib kepada ibunya. Wajahnya terlihat murung.
"Nak, masih banyak wanita lain yang lebih baik daripada Nabila," kata Bu Nyai membujuk.
"Putrinya Kiai Nurudin dari pondok pesantren Miftahul Huda itu juga
tak kalah menarik; cantik, putih, hafidzah, santun pula," Kata Bu Nyai
melanjutkan. Dia memandangi putranya itu dengan penuh harap.
"Gimana, nak?"
"Mi, saya sudah terlanjut mencintai Nabila," kata Adib sambil melepaskan peci putihnya. Wajahnya tertunduk.
"Nak, benar kata umimu itu!" kata Kiai Nawawi yang tiba-tiba datang, mendengar percakapan keduanya.
"Kita butuh generasi penerus yang hafidzah," Kiai Nawawi memegangi bahu putranya. Adib tetap tertunduk.
"Jika kau jadi menikahi Nabila, berarti sanad keluarga hafidz dan
hafidzah bebuyutan kita akan terputus. Wes to, nurut saja pada abah dan
umimu!"
Adib membisu. Beberapa saat kemudian, dia beranjak, meninggalkan kedua orang tuanya.
"Bi, saya sebenarnya tak sampai hati memaksa Adib untuk menikah
dengan wanita lain. Dia benar-benar mencintai Nabila," kata Bu Nyai
kepada suaminya.
"Saya juga, Mi, namun ini demi kebaikan keluarga dan santri-santri
semuanya. Saya juga tak yakin, apakah Nabila mencintainya atau tidak?!"
"Entahlah, Bi…"
"Abi punya firasat, kalau Adib jadi meminang Nabila, maka akan terjadi hal-hal yang nggak baik," Kata Kiai Nawawi.
"Umi pun begitu! Baiklah, Bi…untuk urusan ini, umi serahkan sepenuhnya kepada Abi. Umi sungguh tak tega memaksa Adib…"
"Berdoa saja, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik," jawab Kiai Nawawi.
* * *
Adib termenung di kamar. Matanya menerawang. Pikirannya kacau.
Hatinya gundah. Jiwanya terguncang. Dia tak tak tahu apa yang harus
dilakukan. Pun dia juga belum tahu pasti, apakah Nabila mencintainya?!
Kalaupun Nabila mampu mencintainya dan kemudian Adib jadi menikah
dengannya, maka hidupnya pun tak akan tenang. Pernikahan itu sama sekali
tak bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Baginya, sebuah pernikahan
bukan semata-mata menggapai kebahagiaan pribadinya. Sebuah pernikahan
juga untuk kebahagiaan orang tua dan saudara-saudara. Memilih pasangan
hidup yang cocok untuk dirinya dan juga keluarganya, namun gimana?!
Adib masih termenung. Kemudian ia baringkan tubuhnya. Tubuhnya
menjadi tak berdaya. Kelemahan akan eksistensinya sebagai manusia muncul
begitu saja. Sungguh manusia tak berdaya tanpa kekuatan dari Sang
Pencipta. Kini dia menatap langit-langit kamar. Dia pijit-pijit
jidatnya. Adib mencoba mencari solusi akan masalah yang sedang
dihadapinya. Dia mencoba mencari jalan keluar untuk pernikahan yang
mampu membahagiakan dirinya dan kedua orang tuanya tercinta. Namun,
semakin berpikir, dia semakin tak berdaya. Adib memaksakan dirinya
bangkit, mengambil al-Qur'an di atas meja. Dia ingin menenangkan
jiwanya, dengan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Dia hayati setiap kata-kata
yang termaktub dalam Kitab Suci itu.
"Seandainya saya menuruti abah-umi, mungkin saya akan
mampu membahagiakan mereka, walaupun kebahagiaan saya harus saya
korbankan." Tiba-tiba terbesitlah kata-kata tersebut di dalam hatinya.
"Kapan lagi, saya akan membahagiakan orang tua, jika tidak sekarang," batinnya lagi.
"Ya Allah….berikanlah petunjuk pada hamba-Mu yang lemah ini…" bisiknya.
Adib masih memegang al-Qur'an. Sesekali air matanya
merembes; perasaannya campur aduk, manakala merenungi makna agung
ayat-ayat-Nya sekaligus masih saja merasa tertekan dengan keadaannya
saat ini.
"Seandainya Allah nantinya menakdirkan saya untuk
bersanding dengan wanita pilihan abah-umi, saya akan mencoba untuk
ridzo. Ya, demi kebahagiaan abah dan umi!"
* * *
Sepuluh bulan kemudian, kehidupan Latef bertambah baik. Dia sering
diundang ceramah kemana-mana. Awalnya, dia ceramah di sebuah majlis
pengajian di desanya. Dari sana, banyak orang yang merasa puas dengan
penyampainnya. Hukum-hukum agama yang kelihatannya seram, dikemas begitu
renyah, sesuai akal audience. Dia juga mampu memberikan contoh-contoh
kongkret yang mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan.
Kini Latef, bukan hanya ceramah di desa-desa, namun sering diundang
ke kota-kota kabupaten. Bahkan, dua kali dia memberikan ceramah ke luar
propinsi. Beberapa hewan ternak, warisan ibunya dulu, dia serahkan
kepada seseorang di desanya. Dari sana, nantinya ada pembagian hasil.
Latef mencoba melupakan Nabila, walaupun berat rasanya. Nabila pun
kini sudah tak ada di Jawa. Dia pamit dari Pesantren Darul Qur'an, dua
minggu setelah acara pernikahan Gus Adib dengan putri Kiai Nurudin dari
Pesantren Miftahul Huda. Kini, Nabila bersama kedua orang tuanya di
Kalimantan.
Sebelum pergi ke Kalimantan, Latef sempat menerima surat dari Nabila
yang berisi permohonan maaf karena tidak membalas surat dari Latef waktu
itu. Nabila pun mengatakan, bahwa suatu saat nanti dia akan kembali ke
Jawa bersama kedua orang tuanya.
"Tiga tahun lagi, umurku akan berkepala tiga. Namun, sampai sekarang
belum ada wanita yang menjadi tempat berbagi kasih dan cinta," batin
Latef yang duduk di kursi emperan rumahnya. Sesekali ia menyerutup kopi
panas di sore yang cerah itu. Dia mengelus-elus kucing putih yang manja
di sampingnya. Sejak beberapa minggu yang lalu, kucing itu datang
sendiri ke rumahnya. Latef memeliharanya dengan penuh kasih sayang. Dia
menganggap bahwa binatang merupakan makhluk-Nya yang tidak boleh
disia-siakan. Dia mengamalkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari-Muslim bahwa seseorang memberi makanan atau bersodaqoh kepada
hewan, makanya sodaqohnya itu diterima (seperti sodaqoh kepada manusia).
Itulah Islam yang mengajarkan rasa kasih kepada semua makhluk-Nya,
termasuk rasa kasih kepada hewan dan binatang-binatang yang ada.
Latef teringat kepada salah seorang wanita cantik, yang dia kenal
beberapa waktu lalu. Wanita berkaca mata itu merupakan putri seorang
guru agama di Magelang. Latef mengenal wanita itu, berawal dari ajakan
bapaknya, yang memaksanya untuk bertamu ke rumahnya. Pak Hadi, pengagum
ceramah Latef itu, memperkenalkan Latef dengan Sofia, putrinya yang baru
saja diwisuda. Secara tidak langsung, Pak Hadi menawarkan putrinya
kepada Latef.
"Sofia memang cantik, cerdas dan kaya. Namun, bagaimanapun, dia belum
bisa menggantikan rasa cintaku pada Nabila," Latef merenung.
"Entahlah, apa yang harus aku lakukan?! Apakah aku harus menunggu
Nabila yang belum ada kejelasannya atau segera menindaklanjuti tawaran
bapak Sofia yang sudah jelas di depan mata?! Apakah aku harus
mempertahankan Nabila yang dia sendiri tak pernah "to the point"
menanggapi perasaanku padanya?! Apakah aku akan menyia-nyiakan
kesempatan untuk mempersunting Sofia?! Duh, Gusti….paringi kawulo
pitedah…" [1]
Latef bemaksud bangkit dari duduknya karena sebentar lagi
adzan maghrib berkumandang. Samar-samar terdengar bunyi motor mendekati
rumahnya. Latef bisa memastikan bahwa itu suara motor, karena mobil
belum bisa masuk sampai ke depan rumahnya. Jalan yang menuju ke depan
rumahnya masih sempit dan lumayan terjal. Latef tetap berdiri, menunggu
siapa yang datang.
"Assalamua'alaikum…"
"Wa'alaikumussalam warahmatullah, Pak Hadi…" Kata Latef sambil buru-buru menjempu Pak Hadi.
"Alhamdulillah, sampai juga ke rumah Nak Kiai…" Pak Hadi menyalami Latef.
"Ayo, pak, masuk dulu!" ajak Latef.
"Beginilah gubuk saya, pak. Kuno dan sudah reot, " Lanjut Latef sambil mengajak pak Hadi duduk di kursi ruang tamu.
"Justru rumah seperti ini yang terkesan klasik, antik dan alami,"
"Bapak ini bisa-bisa aja,"
"Ngomong-ngomong bapak ini baru datang dari mana, kok sudi mampir ke gubug saya?"
"Saya sengaja datang dari rumah ke sini, rindu pengin berjumpa dengan Nak Kiai," Pak Hadi tersenyum.
"Subhanallah…semoga silaturahmi bapak dicatat sebagai amal baik oleh-Nya. Oh, ya, sebentar pak, saya ke belakang,"
" Tak usah…Nak Kiai duduk saja di sini. Saya ingin membicarakan suatu hal yang sangat penting,"
"Sebentar saja kok, pak…mau ambil ambil air minum,"
"Sudahlah…sini to, duduk saja!" Pak Hadi mencegah Latef
yang berniat bangkit. Latef pun menuruti permintaan tamunya itu.
"Begini Nak Kiai, langsung saja, tentang Sofia,"
"Sofia kenapa, Pak?"
"Maksud saya, bagaimana tanggapan Nak Kiai tentang tawaran saya atas Sofia?"
Latef tercenung. Dia diam beberapa saat lamanya.
"Gimana, Nak?" desak Pak Hadi
"Sofia, putriku itu butuh seseorang yang mampu
membimbingnya untuk belajar masalah-masalah keagamaan. Jiwanya haus akan
santapan-santapan rohani. Memang, salah saya, sejak kecil putriku itu
aku sekolahkan ke sekolah-sekolah umum yang tak ada basic agamanya.
Baru-baru ini saya tersadar, bahwa agama itu sangat penting. Saya
tersentuh oleh ceramah-ceramah Nak Kiai yang sering mengutarakan bahwa
harus ada keseimbangan lahir dan batin. Harus ada keseimbangan antara
materi dan rohani." Kata Pak Hadi panjang, begitu mengharapkan jawaban
Latef.
Latef tertunduk. Dia bingung mau menjawab apa. Dia jadi gagap.
"Ma…maa…maaf, pak…Saya belum tahu akan jawaban tepat yang harus kuucapkan…"
"Kenapa, Nak? Bahkan Sofia dan ibunya, juga sangat mengharapkan Nak Kiai…"
Latef menghela napas panjang. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Begini pak…dengan tidak mengurangi rasa hormat saya
kepada bapak sekeluarga, saya belum bisa memberikan jawaban saat ini.
Berilah waktu kepada saya untuk memikirkannya. Bagaimanapun ini
menyangkut perihal yang sangat agung bagi masa depan dunia dan akhirat."
Katanya sopan.
"Nggak apa-apa, Nak…hal tersebut sudah membuat bapak
lega, karena secara tidak langsung Nak Kiai merespon maksud bapak
sekeluarga."
"Terima kasih, pak," kata Latef sambil tersenyum.