Jumat, 30 November 2012

Percikan Derai Cinta 5


Malam itu, Latef baru saja pulang dari Mushala. Pikirannya bertambah gundah. Dia duduk di ruang tamu, sambil menimang-nimang sebuah kitab. Kedatangan Pak Hadi ke rumahnya, membuatnya semakin terhanyut dalam problema. Apakah dia masih akan mempertahankan Nabila?! Bagaimanapun, Sofia, putrinya Pak Hadi itu merupakan wanita yang baru saja hadir di dalam kehidupannya. Dia belum tahu banyak tentang wanita itu. Dia belum tahu banyak tentang kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga sebaliknya, Sofia pun belum tahu banyak tentang diri Latef. Sungguh, sebuah dilema!

            Latef bangkit sambil memberi aba-aba kepada kucing putih yang dari tadi menemaninya.
            "Pus…Pus…."
            "Miawww…"
            Dia menggiring kucingnya itu ke dalam bilik kecil khusus untuknya. Kini Latef menuju kamar pribadinya. Seperti biasa, dia lepaskan peci dan kemejanya. Dia hanya mengenakan singlet yang membuatnya leluasa ketika beristirahat.
            Latef mengambil secarik surat yang terselip di lemari kamar. Surat itu dia terima dari Nabila, beberapa waktu lalu. Dia buka pelan-pelan. Dia baca kembali isinya.



Untuk Kang Latef, di tempat.


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bersama surat ini, doaku menyertaimu, semoga engkau selalu diberi kesehatan dan tetap dalam kehangatan selimut cinta-Nya.

Kang, sebelumnya Nabila mohon maaf, tidak sempat membalas surat dari jenengan[1] waktu itu. Jujur, waktu itu Nabila sedang dirundung duka yang tak terkira.
Kang, Nabila belum bisa menjawab pertanyaan jenengan waktu itu. Nabila masih bingung dan perlu bermusyawarah dengan orang tua Nabila. Semoga Jenengan bisa memakluminya.
Nabila berharap, suatu saat nanti Nabila bisa  menjawab dengan pasti. Nabila juga mohon ridzo jenengan, karena Nabila harus pergi ke Banjarmasin, untuk bertemu orang tua.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan di hati Kang Latef. Semoga Allah segera memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dan memberikan jalan terbaik  untuk kita berdua.

Terima kasih, Jazakallahu khairan katsira.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Salam Ta'dzim ,

Nabila Musyarrofah
            Latef membolak-balikkan tubuhnya di pembaringan. Tangannya masih menggenggam surat yang baru saja dibacanya. Sebentar-sebentar, dia amati surat dari Nabila itu. Sekilas, ada harapan untuk menjalin cinta dengan Nabila. Sebagian kata-katanya mengandung peribahasa hati serta membutuhkan penafsiran-penafsiran naluri. Latef berbicara pada dirinya sendiri,
            Nabila atau Sofia? Aku sudah tahu betul siapa Nabila. Aku sudah tahu banyak jati diri Nabila. Dia pun juga sudah tahu siapa diriku sebenarnya. Aku sudah tahu bagaimana bergaul dengan kekurangannya. Dia pun juga sudah tahu bagaimana menyikapi kekuranganku. Saat aku dan dia sama-sama menjadi Abdi Dalem, kami sudah saling memahami, saling menasihati, belajar mengendalikan hati dan mampu menyamakan persepsi. Ah, Nabila…walaupun gaya hidupmu sederhana, namun pribadimu sangat luar biasa. Walaupun kau bukan seorang sarjana, namun cara berpikirmu membuatku terpesona. Walaupun wajahmu tak berpoles kosmetik layaknya wanita-wanita di luar sana, namun wajahmu alami bertaburkan bunga-bunga surga. Nabila…semoga kelak kau akan menjadi tempat untuk berbagi cinta…

* * *

            Sudah dua bulan menunggu, namun  Pak Hadi belum menerima kepastian dari Latef. Dia menjadi cemas. Begitu juga dengan Sofia dan ibunya.
            "Lebih baik, Sofia kita jodohkan dengan Haris, kawannya yang sering datang ke sini itu?! Daripada menunggu kiai Latef yang tak jelas itu,"  celetuk Aminah, istri pak Hadi. Pak Hadi diam, tak menanggapi istrinya itu.
            "Pak, sampai kapan kita harus menunggu. Pun ini akan menurunkan wibawa keluarga kita, seakan kita ini pengemis cintanya," Lanjut Aminah.
            "Hush…apa-apaan ibu ini?" Pak Hadi memandang tajam istrinya itu.
            "Ibu mau kalau Sofia mempunyai suami seperti Haris itu, yang kehidupannya tak jelas, ngalor-ngidul, nongkrong-nongkrong di jalan sambil menggoda gadis-gadis yang lewat?! Ibu mau kalau Sofia mempunyai suami yang tak jelas masa depannya seperti itu?!" Pak Hadi melotot.
            "Pak, kata siapa, Haris itu suka nongkrong-nongkrong di jalan sambil menggoda cewek-cewek yang lewat? Bukankah kalau berkunjung ke rumah kita, dia begitu santun?! Tak terlihat sama sekali tanda-tanda bahwa dia seperti yang bapak katakan," bantah Aminah.
            "Asal tahu aja, kemarin saat ada acara kumpul warga RT kita ini , banyak tetangga-tetangga yang menggunjing Haris. Mereka resah mendapat laporan anak-anak gadis mereka yang sering digoda pemuda bajingan itu!"  kata Pak Hadi agak marah. Aminah terdiam seribu bahasa. Kata-kata suaminya mampu menyumpal mulutnya.
            "Pak, bapak ini jangan mengada-ada," Sofia yang mendengar percakapan kedua orang tuanya tiba-tiba keluar. Bagaimanapun dia tak terima dengan pernyataan bapaknya.
            "Mungkin Haris lain, bukan kawanku itu,"  ungkap Sofia.
            "Jika kata-katamu benar, pokoknya, bapak tetap tak setuju jika kau menikah dengan Haris! Titik!" Bentak Pak Hadi sambil meninggalkan mereka berdua.
            Aminah mendekati Sofia. Dia memegang pundak putrinya itu.
            "Nak, kau yakin dan masih mau menunggu jawaban dari Kiai Latef?" tanya Aminah lembut.
            "Nak, tolong jawab dengan jujur!" pinta ibunya itu. Sofia menggenggam tangan ibunya.
            "Bu, Sofia bingung. Kalau mau jujur, sebenarnya sulit bagi Sofia mencintai lelaki yang Sofia sendiri belum tahu banyak tentang dirinya. Walaupun sebenarnya Sofia sudah cukup mendapatkan lelaki yang bagus agamanya, namun bukankah akan lebih baik lagi jika Sofia sudah lama mengenalnya?!"  kata Sofia. Ibunya menghela napas panjang.
            "Ibu tahu bagaimana perasaanmu, Nak. Ibu kira, setiap orang juga akan berpendapat seperti itu. Ibu dulu pernah merasakannya. Betapa sulit bagi ibu, ketika tiba-tiba kakekmu menjodohkan ibu dengan bapakmu itu. Memang, cinta pun akan bersemi bersama masa, namun itu butuh proses yang cukup lama,"  Aminah mengusap-usap kepala putrinya.
            "Bu, menurut ibu gimana? Apa yang harus Sofia lakukan, Bu?"
            "Coba, kau pikirkan lagi. Semua kembali kepada dirimu, Nak.." Aminah tersenyum. Dia bangkit dan beranjak meninggalkan Sofia sendirian di ruang tengah.

* * *

            Setelah beberapa bulan dengan penuh harap, akhirnya keluarga Pak Hadi mendapatkan jawaban dari Latef yang secara tidak langsung menolak untuk meminang Sofia. Sungguh kecewa hati Pak Hadi dan keluarganya. Namun apa daya, memang belum jodohnya Sofia. Skenario Penguasa tak ada yang bisa menolaknya. Toh, kalaupun Latef jadi menikah dengan Sofia, mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimanapun Pak Hadi dan keluarganya mencoba menerima dengan selesa dan tetap menjalin hubungan baik dengan Latef.
            Kekecewaan Pak Hadi dan keluarganya akhirnya terobati, manakala datanglah pinangan dari seorang ustadz dari satu kabupaten yang juga bertitel Sarjana Ekonomi, layaknya Sofia. Walaupun ilmu agamanya tak sebanding dengan Latef, namun cukuplah bagi Sofia untuk meminta bimbingan agama kepadanya.
            Di sisi lain, penolakan Latef terhadap Pak Hadi bukanlah penolakan asal-asalan. Selama beberapa bulan lamanya, Latef berpikir serta meminta petunjuk dari Allah untuk kebaikan masa depannya. Dia tak lupa melakukan shalat istikharah, sebagai wasilah dibukanya kunci kepastian. Shalat istikharah menjadi jembatan bagi manusia, manakala dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Bahkan ia juga menjadi solusi bagi siapa saja yang ingin meminta petunjuk kepada-Nya.
            Latef masih setia menunggu Nabila. Dia lenyapkan godaan-godaan yang mencoba membuatnya berpaling darinya. Latef selalu mengisi hari-harinya dengan kesibukan, mengisi ceramah agama, dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, dari suatu kabupaten ke kabupaten lainnya, dari suatu propinsi ke propinsi lainnya. Kali ini, dia diundang ke salah satu daerah di Banjarmasin, Kota Seribu Sungai. Kebetulan juga, pamannya ada yang transmigrasi ke daerah sana. Peribahasa mengatakan, sambil menyelam minum air. Jadi, selain berceramah, dia sekalian bermaksud mengunjungi pamannya yang ada di sana tersebut.  
            Latef mempersiapkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Entahlah, undangan kali ini terasa sangat istimewa. Bahkan sempat terpikir, kira-kira warna apa pakaian yang cocok untuk ceramah nanti. Padahal sebelum-sebelumnya, dia tak terlalu mempedulikan hal-hal seperti itu. Maklum, namanya juga laki-laki, terkadang tak terlalu peduli dengan fashion. Mungkin kalau sudah punya istri, seorang laki-laki akan sangat peduli dengan fashion, itupun karena dorongan sang istri.  Entahlah…
            Rencananya, Sabtu depan Latef langsung cabut dari Purworejo menuju Bandara Adi Sumarmo, Solo. Dari sana nanti akan naik Trigana Air dan langsung terbang ke Banjarmasin. Semua biaya pemberangkatan sudah dia terima dari Banjarmasin via pos. Latef akan dijemput di  Bandara Syamsudin Noor nantinya. Setelah itu akan meluncur ke kelurahan Antasan Besar, kecamatan Banjarmasin Tengah. Pengajian akbar akan dilaksanakan di komplek Masjid Raya Sabil al Muhtadin yang terletak di tepi barat sungai Martapura.

* * *

Masjid Raya Sabil al Muhtadin terlihat begitu mempesona. Masjid tersebut dihiasi menara-menara, satu menara-besar setinggi empat puluh liam meter, dan empat menara-kecil, yang tingginya masing-masing dua puluh satu meter. Pada bagian atas bangunan-utama terdapat kubah-besar bergaris tengah tiga puluh delapan meter, terbuat dari bahan aluminium sheet Kalcolour berwarna emas yang ditopang oleh susunan kerangka baja. Juga kubah menara kecil  yang garis tengahnya lima dan enam meter.
Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, Latef ditemani Pak Arifin melihat-lihat bangunan masjid yang berhiaskan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an dan Asmaul Husna, juga nama empat Khulafaurrasyidin. Hiasan-hiasan lain terdapat pada pintu, krawang dan railing, keseluruhannya dibuat dari bahan tembaga dengan bentuk relief berdasarkan corak hiasan yang banyak terdapat di daerah Kalimantan.
            "Nama masjid ini diambil dari nama seorang ulama besar, beliau adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari," terang pak Arifin.
            "Ya, saya pernah mendengar kemasyhuran beliau. Kalau tak salah, beliau pengarang  Kitab Sabil al-Muhtadin," Latef menanggapi.
            "Ya, benar sekali."
            Setengah jam kemudian, acara pengajian akbar pun dimulai. Pengajian tidak dilaksanakan di dalam, namun di pelataran terbuka di area masjid. Pengunjung adalah orang umum, yang datang dari daerah Banjarmasin dan sekitarnya.
            Tiba saatnya, bagi Latef untuk menaiki podium panas. Dia memohon petunjuk kepada Allah agar diberi kelancaran. Dia menyampaikan tema global seputar penyebab kemunduran umat Islam, pentingnya persatuan umat Islam Indonesia dan  beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk kemajuan umat Islam, baik di Indonesia atau di dunia seluruhnya.
            "Hadirin hadirat yang berbahagia,,,,
Jadi, salah satu penyebab mundurnya umat Islam saat ini adalah pemahaman yang sempit akan Islam itu sendiri. Kita sering berpikir, bahwa Islam tak lebih daripada syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji! Kita sering menganggap bahwa ibadah terbatas pada ritual-ritual di masjid! Kita sering menganggap bahwa umat Islam hanya dituntut untuk belajar ilmu-ilmu syar'i! Banyak orang Islam yang menganggap bahwa belajar ilmu-ilmu umum itu tak penting! Banyak orang Islam menyangka bahwa belajar ilmu biologi, fisika, antropologi, astronomi, ekonomi, kedoketeran dan lain sebagainya itu tak dianjurkan! Padahal kalau kita mengkaji lebih dalam lagi tentang jati diri Islam, maka kita akan mengerti bahwa anggapan-anggapan di atas tadi salah! Islam itu komprehensif, mengatur semua sisi kehidupan, baik syari'at, ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan lain-lain. Al-Qur'an dan Hadits secara tidak langsung telah mengatakan itu semua sejak 1400 tahun yang lalu. Semua amalan kita, selama itu halal, mengikuti tuntunan Rasul dan  ikhlas karena Allah, maka insya Allah akan bernilai ibadah… "

Itulah sebagian isi ceramah Latef  kepada jama'ah di pengajian tersebut. Sesekali dia mengutip kisah kejayaan umat Islam masa lampau di Andalusia  dan Baghdad. Terkadang pula, dia menyelipkan sedikit humor dalam ceramahnya itu.

Sebenarnya, dari tadi pandangan Latef sering tertuju pada seorang gadis yang sepertinya pernah dia kenal. Gadis itu duduk di sebelah kiri depan jama'ah wanita. Jilbabnya begitu khas, panjang dan berwarna biru laut. Namun Latef mencoba fokus pada tema yang disampaikannya. Mungkin saja, gadis itu bukanlah gadis yang pernah dia kenal, namun hanya memiliki keserupaan dengannya.
Setelah satu jam setengah berbicara panjang lebar, Latef  pun menyudahi ceramahnya. Dia turun dari podium, berjalan menuju ruangan yang telah disediakan panitia. Banyak hadirin yang berusaha menyalaminya, sehingga mengharuskan panitia turun tangan.
"Ceramah pak ustadz mantap sekali!" celetuk salah seorang hadirin yang baru saja menyalaminya.
"Ya, ceramah pak ustadz mudah dipahami!" seru yang lain. Latef pun hanya tersenyum dan mengucapkan hamdalah.
"Oh, ya, pak ustadz, ada yang ingin bertemu dengan pak ustadz," kata salah satu panitia. Orang itu juga bermaksud menyindir kerumunan para hadirin, supaya membiarkan Latef leluasa duduk.
"Suruh ke sini saja," jawabnya.
Beberapa saat kemudian datanglah seorang lelaki paruh baya, berkumis tipis.
"Assalamu'alaikum Ustadz…"
"Wa'alaikumussalam Warahmatullah…" sambut Latef dengan wajah berseri-seri.
"Perkenalkan, nama saya Marzuki,"
"Beliau inilah orang yang telah mengusulkan kepada panitia untuk mengundang Pak Ustadz ke sini," seorang panitia yang duduk di samping Latef menjelaskan.
"Oh, ya…barokallahu fik…" kata Latef sambil menepuk-nepuk pundak Pak Marzuki.
"Sebenarnya bukan saya, tapi anak saya," kata Pak Marzuki.
"Beliau juga asli Jawa," kata seseorang di Majlis itu.
"Tepatnya mana, pak, Jawanya?" tanya Latef.
"Saya dari kebumen,"
"Oh gitu…jadi bapak kenal dengan…?" Latef terhenti.
"Siapa Pak Ustadz?"
 Tiba-tiba handpone Pak Marzuki berdering. Latef belum sempat menjawab pertanyaan Pak Marzuki.
"Sebentar Ustadz, Ya…" kata Pak Marzuki, keluar ruangan. Latef pun mempersilahkannya.
Latef melanjutkan perbincangan dengan panitia dan orang-orang yang ada di majlis itu.

* * *


Sebelum Latef berkunjung ke rumah pamannya, dia diajak pak Marzuki mampir ke rumahnya. Letak rumah pak Marzuki tak terlalu jauh dari kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, sekitar sepuluh menit kalau jalan kaki.

"Jadi, sudah berapa lama bapak tinggal di sini?" Tanya Latef.
"Sekitar sepuluh tahun yang lalu, setelah masa-masa paceklik tinggal di Jawa,"
"Nak, bawa minumannya keluar!" seru Pak Marzuki kemudian, kepada putrinya yang ada di dalam. Beberapa saat kemudian muncullah seorang gadis berjilbab biru panjang  membawa minuman keluar. Itulah wanita yang Latef lihat di majlis pengajian tadi.
Bagaikan disambar halilintar siang bolong, Latef sangat terkejut melihat putri Pak Marzuki yang tidak lain adalah Nabila. Latef seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nadinya berdenyut kencang. Dia mengusap-usap matanya. Lidahnya terasa kelu, saat Nabila menyapanya.
"Assalamu'alaikum Kang Latef…" katanya lembut sekali.
"Wa..waa…wa'alaikumussalam warahmatullah…" jawabannya jadi tersendat-sendat. Pak Marzuki hanya tersenyum.
"Saya ke belakang dulu ya, Kang…" Kata Nabila tersenyum.
"Jadi ini semua merupakan skenario Nabila. Dialah orang pertama kali yang menyampaikan ide kepada saya untuk mengundang Pak Ustadz. Barulah ide itu saya tawarkan kepada panitia. Kebetulan saya kenal baik dengan bapak-bapak yang mengelola Masjid Raya Sabil al Muhtadin,"  Pak Marzuki menerangkan. Latef  hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Sebentar, saya panggil ibu,agar memperkenalkan diri dengan Pak Ustadz,"  Pak Marzuki masuk memanggil Asfiah, istrinya, yang sedang sibuk di dalam rumah.
Tak berapa lama kemudian, Bu Asfiah datang.
"Assalamu'alaikum, sugeng rawuh[2] pak ustadz," Bu Asfiah menelungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, sebagai isyarat salam.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullah, terima kasih, Bu,"
"Nabila  sudah banyak cerita mengenai Pak Ustadz. Pak Ustadz dari Purworejo, kan?"  Kata Bu Asfiah dengan logat khas kebumennya.
"Benar sekali," jawab Latef singkat sambil merekahkan senyumnya.
"Nabila ke mana, Bu? Ajak ke sini saja, Bu!" pinta Pak Marzuki kepada istrinya.
"Di dalam. Sebentar, biar ibu panggil,"
"Pak Ustadz menginap di sini saja, biar kita bisa lama-lama bercengkerama," Pak Marzuki menawari.
"Wah, terima kasih sekali, pak. Setelah ini, saya berniat mengunjungi paman saya yang ada di kecamatan Banjarmasin Utara,"
"Lho, jenengan punya paman di sini, to?" heran Pak Marzuki
"Benar, sudah sejak tiga tahun yang lalu beliau transmigrasi ke daerah sini."
"Walah-walah, jangan-jangan saya kenal?! Siapa namanya paman jenengan itu?"
"Ahmad Hasan, khatib di Masjid Sultan Suriansyah,"
"Warna kulitnya sawo matang, orangnya tinggi, dan berjenggot tebal?"
"Benar, itulah paman saya,"
"Subahanallah, kalau beliau saya kenal. Namun saya sudah lama tak sowan ke rumah beliau. Terakhir saya berjumpa beliau saat bulan Syawal kemarin,"
"Sungguh, dunia ini sangat sempit ya, pak," Kata Latef bercanda. Belum sempat Pak Marzuki menanggapi Latef, datanglah Nabila dan Ibunya.
"Nah, gitu. Duduk sini, nduk. Masa Pak Ustadz datang, malah ditinggal ngumpet,"  Pak Marzuki bercanda.
"Ya, katanya mau memberikan kejutan untuk Pak Ustadz, kok malah ditinggal pergi," ibunya pun ikut menggoda Nabila. Dia tersipu malu. Pipinya yang putih memerah. Latef yang melihat semua itu hanya tersenyum. Hatinya berbunga-bunga manakala bisa bertemu Nabila. Pun disambut hangat oleh keluarganya.
"Gimana kabar, kang?" kata Nabila malu-malu. Pak Marzuki dan istrinya tersenyum sambil lirik-lirikan. Mereka sudah tahu, bahwa Nabila sudah akrab dengan Latef.
"Sehat alhamdulillah, Nabila sendiri gimana?" jawab Latef.
"Sehat, aktifitas lancar berkat doa Kang Latef,"
Kini Pak Marzuki membuka tema baru,
"Begini pak ustadz, mumpung kita semua sudah berkumpul, izinkan saya untuk membicarakan hal yang sangat penting,"  kata Pak Marzuki. Semua pandangan tertuju pada beliau.
"Tentang Nabila," lanjutnya singkat. Nabila yang duduk disamping bapaknya itu menjadi penasaran. Jantungnya berdetak kencang. Panas-dingin serasa menyelimutinya.
"Sudah saatnya bagi putriku ini untuk mendapatkan seorang imam. Sudah saatnya dia mendapatkan imam yang akan mengimami perjalanan hidupnya. Sudah saatnya dia mendapatkan sandaran hidup, baik saat duka atau gembira. Dia butuh bimbingan dari seorang imam yang tahu betul akan pribadinya,"  Pak Marzuki berhenti. Suasana menjadi hening. Latef dan Pak Marzuki beradu pandang. Sementara Nabila dan ibunya menunduk.
"Nabila butuh seseorang yang mampu menjembataninya menuju kebahagiaan dunia-akhirat. Nabila memerlukan imam yang akan bersamanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dan imam yang dia butuhkan itu sudah ada di sini. Jenenganlah Pak Ustadz yang berhak mengimaminya," lanjut Pak Marzuki kemudian.
Lagi-lagi Latef bagaikan tersengat aliran listrik sore itu. Perasaannya tak karuan. Kaget, bingung, haru dan gembira menjadi satu. Dia tak bisa berucap apa-apa. Beberapa kali dia menelan ludah, menunduk, dan menghela napas panjang. Di sisi lain, Nabila pun merasakan hal yang hampir sama. Tak terasa, air mata menetes dipipinya. Dia menggenggam erat tangan ibunya. Sesekali terdengar isakan dari Nabila.
"Gimana pak ustadz?" Pak Marzuki menanyainya. Beberapa saat Latef tak berkutik, baru kemudian mengangguk sambil berucap, "Insya Allah." Latef menyalami Pak Marzuki. Kali ini, dia kecup tangannya. Kemudian keduanya berpelukan, tenggelam dalam gelombang rasa yang tak terkira. Bu Asfiah juga tak kuasa menahan rasa haru. Matanya berlinang-linang. Dia memeluk putrinya. Air mata Nabila semakin berderai. Percikan derai cinta mengalir di wajahnya. Suasana haru menyelimuti ruangan penuh berkah itu. Malaikat pun ikut bersaksi. Anugerah menjadi akhir daripada manusia-manusia bersih penjaga hati; yang mampu bersabar sampai datangnya saat-saat untuk mewujudkan cinta suci di bawah naungan ridho Ilahi.


Kairo, Awal Musim Dingin, 08/11/2012, Pukul 22.33



[1] Kamu ( B. Jawa halus).


[2] Selamat datang