Rabu, 29 Agustus 2012

Siapa Kita Sebenarnya?


Bismillahirrahmanirrahim…...

Gimana kabar kawan-kawan semua? Yang pasti puasanya lancar-lancar aja, kan?! Ya, Ramadhan masih terus bersama kita. Bulan yang penuh berkah ini tak akan kemana-mana heheh
Baiklah, saya pengin ajak kawan-kawan untuk ngobrol sebentar, sebentar aja kok! Kaitannya dengan masalah “jati diri” kita, maksudnya jati diri kita sebagai pemudi/pemudi. Boleh juga kok, kalau mau pakai istilah co/ce (cowok atau cewek) heheh… Mungkin kalau berbicara masalah jati diri, yang terbayang di benak kita adalah “Siapa kita sebenarnya?”, “Apa kemauan atau cita-cita kita?” , “Seperti apa prinsip hidup kita?” dan lainnya.

Hmmm…kok malah jadi bingung (sambil garuk-garuk kepala padahal nggak ada kutunya) heheh. Ok! Mungkin, kita akan ngobrol pertama, tentang “Siapa diri kita sebenarnya?” Setiap orang dilahirkan dari keluarga yang berbeda-beda, baik status sosial, agama ( Di sini insya Allah beragama Islam semua), adat, budaya, dan lainnya. Biasanya kita akan terpengaruh “gaya hidup” ortu kita. Bahkan, sikap bapak dalam memperlakukan ibu kita akan berpengaruh besar pada diri kita selanjutnya. Begitu juga, sikap ibu pada bapak kita. Kalau boleh saya katakan, sejak kecil kita sudah menjadi “peneliti” akan gerak-gerik ortu kita, dan kemudian menirunya. Ada pepatah jawa, “Kacang manut lanjarane” yang tafsirannya dalam Bahasa Indonesia berarti, “Tanaman kacang panjang akan tumbuh mengikuti tiang atau sandarannya.” Ibarat tanaman kacang, bahwa anak adalah tanaman kacang itu sendiri, sedangkan orang tua kita adalah tiang atau sandarannya. Poin: Pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi awal masa depan kita!
Jadi, bagaimana diri kita sekarang ini, ternyata tak jauh dari bagaimana orang tua kita. Ambil contoh, beberapa kerabat saya kebanyakan dari mereka mengenyam pendidikan di pondok pesantren saja tanpa mengenyam pendidikan formal seperti sekolah-sekolah umum. Biasanya mereka akan langsung menikah setelah lulus dari pondok pesantren tersebut. Ada juga sih yang sempat menikmati pendidikan umum setingkat SMP. Setelah saya amati, ternyata hal ini berawal dari sikap ortu mereka yang menganggap bahwa pendidikan umum itu “Nggak penting!” Jadi, prinsip hidup kerabat-kerabat saya memang sederhana, yang penting sudah mengenyam ponpes! Itu saja! Selain itu ada sebagian mereka yang menganggap bahwa pendidikan formal bersifat keduniaan, sedangkan ponpes punya “aroma akhirat.” Dari kaca mata “kosmos” saya salut dengan prinsip mereka. Sebentar, tapi ada yang harus dikritisi di sini! Anggapan bahwa pendidikan formal seperti SMA, Universitas, dll, adalah bersifat keduniaan, itu anggapan yang harus diluruskan! Kenapa? Sudah tentu, bahwa Islam tidak ekstrem “mendikotomi” mana hal-hal dunia dan mana hal-hal akhirat. Semua gerak-gerik manusia yang dilakukan karena Allah Swt maka akan bernilai akhirat. Bahkan (maaf) , setingkat “pergaulan” hidup sepasang suami istri akan mendapatkan pahala jika memang dilakukan karena-Nya. Alhasil, inilah Islam yang “komprehensif”! Keseimbangan dunia-akhirat adalah prinsip Islam sesungguhnya. Dunia adalah “perantara” kebahagiaan akhirat juga! Lihatlah ulama-ulama dulu di Baghdad, Andalusia (sekarang Spanyol), dll, yang mereka expert dan kompeten dalam dua bidang sekaligus, ilmu-ilmu keagamaan dan sains! Inilah kunci kejayaan umat Islam zaman dulu yang tidak terlalu mendikotomi dunia dan akhirat….
Eits…tarik napas sebentar! Jangan tegang gitu dong, heheh
Intinya, sekarang mari kita lihat lagi, “jati diri” kita…Apakah kita tipe orang-orang yang hanya berpikir bahwa setelah ini kita yang penting harus punya istri cantik atau suami yang gagah, kaya, punya anak, kemudian meninggal dunia begitu saja?! Atau kita termasuk daripada orang-orang yang punya cita-cita jadi seorang “kontributor” kemanusiaan, minimal bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Baiklah, untuk menjawabnya, mungkin kita akan berawal dari “Bagaimana pendidikan keluarga kita, yang telah membentuk kepribadian kita saat ini?!” Saya yakin seratus persen bahwa semua orang tua berniat baik terhadap masa depan anak-anaknya. Hanya saja, mungkin “cara yang mereka tawarkan” kepada anak-anaknya hanya hasil ijtihad mereka. Jadi, bolehlah melihat lagi, apakah ada cara yang lebih baik dari itu? Toh, mereka juga bukan Tuhan Yang Maha Sempurna. Saya berbicara seperti ini, berawal dari pengalaman saya. Dulu awalnya, saya hanya disuruh mondok atau mengenyam pendidikan di ponpes saja tanpa harus mencicipi pendidikan formal setingkat SMA dan selebihnya. Entahlah, Allah menjadikan jalan hidup saya berbeda dan saya tidak mau kalau hanya mondok saja. Orang tua saya pun tipe orang tua yang mau diajak kompromi terhadap “kemauan” saya tersebut, sehingga alhamdulillah, kini saya tahu bagaiamana “kehidupan universitas” seperti yang kawan-kawan rasakan juga. (Wew..malah curhat ahahahiii ).
Siapa diri kita sebenarnya, hanya Allah dan pribadi kita masing-masing yang tahu…!!!
Itulah sekilas obrolan kita kali ini, selingan di bulan Ramadhan heheh . Ngomong-ngomong di situ sudah buka puasa belum? Kalau sudah ya Alhamdulillah. Kalau belum,  sabar sebentar ya….hehehe . Yang belum buka puasa, ayo segera persiapakan cendolnya, es degannya, kolak nangkanya, Ghrrrrrr……


Di sela-sela panasnya mentari Kairo, 28 Juli 2012