Rabu, 29 Agustus 2012

Aku Seorang Pendosa (Sebuah Cerita Pendek-Nyata)


Kubiarkan jari-jariku ini merangkai kata.
Kubiarkan hatiku ini “mengalir” bersama desau angin sahara yang
menyengat siang ini. Kubiarkan otakku mengingat kembali memori lama yang
selalu “melayang-layang” di depan mataku.
Diriku selalu saja ingat, “Siapakah diriku sebenarnya?!” Aku tak tahu
kenapa aku menyimpan sejuta misteri yang mungkin orang tuaku sendiri pun
tak tahu. Entahlah, misteri yang ada pada diriku merupakan sebuah
realita hidup yang mungkin juga pernah dialami oleh orang lain. Namun,
aku rasa ini bukan realita biasa. Ini realita seorang pendosa! Ya, aku
seorang pendosa! Bukan hanya itu saja, bahkan aku telah “gila”!!!

Masa kecilku kulalui penuh dengan kebahagiaan, walaupun saat itu, aku
terbina di bawah keluarga yang hidupnya sangat sederhana. Kebahagiaan
kadang justru muncul dari hal-hal yang simpel. Dari TK sampai
MTsN, aku selalu mendapat juara kelas. Hal inilah yang akhirnya
membawaku bisa bebas dari pembiayaan-pembiayaan sekolah secara umumnya.
Sangat aku sadari, bahwa saat-saat TK sampai MTsN ini, diriku belum
terkontaminasi “virus-virus remaja” yang pada saat selanjutnya mampu
menaklukkanku. Aku kira, hal itulah yang menjadi perantara kesuksesan
studi dan mampu fokus di mata pelajaran yang aku pelajari. Walaupun
“virus-virus remaja” yang menaklukkanku itu hanya sebatas
perasaan-perasaan, namun pada akhirnya membuyarkan konsentrasiku. Aku
“gila”!
Sejak kecil aku telah di bina di “bilik-bilik islami” dan “pergaulan
islami” pula. Salah satu hasil daripada pembinaan itu adalah kebiasaanku
dalam berdoa. Aku masih ingat, ketika aku masa-masa menikmati
pendidikan di SD; ba’da maghrib aku sering menangis berdoa, masa-masa
sebelum pengemuman hasil tes catur wulan (waktu itu belum pakai sistem
semester). Aku telungkupkan kedua telapak tangan ke wajahku, di
samping dampar (istilah jawa: meja rendah panjang untuk meletakkan
al-Qur’an saat kita mengaji), sambil meneteskan air mata memohon
kepada-Nya. Pembinaan islami inilah yang mengajarkan makna “tawakkal
setelah usaha.”
Saat aku duduk di bangku MTsN, aku menemukan sebuah novel di lemari
rumah, tentang perbandingan Islam-Kristen. Novel itu milik ayahku. Novel
itu pun aku baca dan aku cermati isinya. Sungguh menarik isinya, debat
Islam-Kristen. Keimananku yang masih “naik turun” pun mengalami gangguan
hebat. Aku stress! Aku “gila”! Timbul berbagai pertanyaan di
simpul-simpul saraf otakku. Apa sebenarnya Islam? Apa sebenarnya
Kristen? Bukan hanya itu saja, hal tersebut membuatku sering merenung
akan hakikat agama yang lain, seperti agama Hindu dan Budha?!
Fantastic! Aku masih stress dan “gila” saat aku lulus dari MTsN dan
menginjakkan kaki di SMA (sekaligus tinggal di pesantren). Aku sering
merenung akan hakikat agama itu sendiri. Agama apa sebenarnya yang
benar, karena semuanya juga menyeru kepada kebaikan, melarang keburukan?
Aku yang masih ABG, sudah menyimpan benih-benih pluralisme agama!
“Virus-virus remaja” di SMA pun semakin “menggerogoti” prinsipku
yang sudah melekat sejak kecil. Ya, aku semakin dewasa! Ya, mungkin aku
ingin menunjukkan kepada diriku sendiri bahwa aku telah dewasa!
Perasaan-perasaanku menjadi liar! Sekali lagi, aku “gila”!!! Dua problem
akhinya harus aku hadapi: Pertama, Mencari jawaban pasti akan hakikat
agama-agam yang ada, dan menemukan iman sejati, bukan sekadar iman
warisan. Kedua, bertarung melawan ganasnya “virus-virus remaja”!
Aku hampir tidak bisa fokus dalam menghadapi pelajaran-pelajaran di
sekolah. Pikiranku aku sita untuk mencari solusi akan problem yang
sedang aku hadapi tersebut. Dalam diamku, aku selalu memutar otakku
untuk menjadi “pria sejati” yang mampu keluar dari semua problem yang
sedang kuhadapi.
Alhasil, aku sering melamun. Suatu ketika, saat kepulanganku dari
pesantren, aku termenung di dalam Bus. Aku analisis setiap agama.
Pertama, aku menganalisis agama Hindu. Apakah benar kiranya agama itu?
Jika memang benar, kenapa banyak hal-hal mistis dan khurafat dalam agama
itu? Arca, sesaji, dan lainnya sudah cukup menjadi bukti ketidakabsahan
agama itu? Emang Tuhan makan sesaji? Kalau dikatakan sekadar berkorban
harta, kenapa kok nggak di sedekahkan kepada manusia? Kenapa malah
disedekahkan kepada patung-patung tak bernyawa? Bodoh, pikirku. Kedua,
aku menganalis agama Budha, agama ini mirip agama Hindu yang menjadikan
arca/patung sebagai Tuhan. Ketiga, aku analisis agama Kristen. Di
sinilah aku lumayan serius menganalisis agama samawi ini. Jika Isa
(menurut mereka Yesus), sebagai Tuhan, kenapa dia makan dan minum? Jika
makan dan minum di situ dikatakan sebagai simbol saja dan sekadar
penampakan Tuhan kepada manusia, apakah masuk akal? Kenapa harus ada
Tuhan tiga (Bapa, Yesus, Roh Kudus)? Masa Tuhan punya anak, emang
istrinya Tuhan siapa? Toh Maria juga bukan istri Tuhan? Yang punya anak,
seharusnya juga harus punya Istri? Kenapa Tuhan Yesus harus
berkorban menebus dosa manusia? Kenapa Anak Tuhan (Yesus) yang suci
justru disalib untuk menebus kesalahan manusia? Berarti Tuhan Bapa nggak
kasih sama anaknya dong? Berarti….Berarti….Berarti….? Kenapa jika Yesus
Tuhan, disebutkan di Injil bahwa dia kok berdoa? Bukankan Tuhan itu
Maha Kuasa? Jika begitu, derajat Tuhan Yesus lebih rendah dari Tuhan
Bapa? Lhoh, katanya Tuhan Bapa, Yesus, dan Roh Kudus itu menyatu, alias
tiga oknum dalam satu (trinitas)? Nggak masuk akal! Kenapa juga mereka
menyucikan patung Yesus yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri?
Kenapa harus ada biarawan dan biarawati yang nggak boleh menikah?
Bukankah fitrah manusia itu memiliki pasangan? Sampi binatang pun juga
punya pasangan! Bukankah nafsu syahwat itu nggak bisa di “bunuh”
tapi hanya bisa dikendalikan? Kasihan! Bodoh, pikirku. Terakhir Islam,
benarkah? Islam mengakui adanya Tuhan Yang Satu, melarang khurafat dan
arca-arca yang sebenarnya dibuat manusia sendiri? Ini masuk akal.
Al-Qur’an dipelajari dan dihapal berjuta-juta umat di dunia. Ini
menunjukkan mukjizat. Nggak ada kitab suci selain al-Qur’an yang
dipelajari dan dihapal sedemikian rupa! Ini masuk akal! Arab salah satu
tempat paling keji dan brutal sebelum datangnya Islam di dunia, namun
setelah datangnya Islam, Arab dan penduduknya menjadi baik dan lebih
teratur. Pembunuhan anak-anak perempuan pun dihapuskan! Ini mukjizat
Islam, masuk akal! Ramalan-ramalan di al-Qur’an yang terbukti seperti
terkalahkannya Romawi di dalam surat Ar-Rum juga ramalan-ramalan
lainnya. Islam tidak menyuruh manusia untuk hidup berpasang-pasangan
sesuai fitrah. Ini masuk akal, dan lainnya. Itulah hasil renunganku
selama kepulanganku dari pesantren. Analisa-analisa baru saja, cukup
menyembuhkanku dari “gila”. Namun, aku terus memantapkan keimanan dengan
mempelajari hakikat agama-agama yang ada.
Keraguanku akan Islam, walaupun sebatas analisa-analisa otakku akan
agama, mungkin aku pantas menyebut diriku sendiri dengan seorang
pendosa. Ya, sekali lagi, aku pernah menjadi seorang pendosa. Jalan yang
Allah takdirkan untukku memang harus seperti itu. Aku telah rela akan
takdir baik dan buruk yang telah terjadi padaku.
Singkat cerita, aku pun akhirnya sedikit-banyak mampu menghempaskan dan
melempar jauh-jauh “virus-virus remaja’ yang pernah menganggu. Walaupun
nilaiku di SMA sedikit menurun, namun perjuangan dan fokusku untuk
menyembuhkan diriku yang “gila” pun tak sia-sia. Alhamdulillah ya
Robb………….



Hay 'Asyir, 28 Juli 2012