Senin, 07 Mei 2012

Irja Undercover


(Sekadar Coretan Kisah Nyata)

Entahlah, malam ini aku ingin bercerita. Ya, benar, aku ingin bercerita. Tak tahu, ilham apa yang membimbingku untuk duduk manis di depan monitor.  Tak tahu, bisikan apa yang mampu menyihir jari-jariku untuk memijit-mijit tombil keyboard.  
Baiklah, kalau boleh jujur, sebenarnya aku tak terlalu suka curhat. Yah, mungkin sekali-kali nggak papa ….Yang jelas, aku ingin berbagi cerita. Inilah diriku, seonggok daging yang dilengkapi dengan organ-organ tubuh dan tentunya bernyawa. Allah memang telah menakdirkanku untuk hidup di dunia ini dan akhirnya bisa bertemu kawan-kawan melalui rangkaian kata-kata ini.
Sejatinya, namaku memang cocok dengan tempat kelahiranku, Irian Jaya (IRJA). Lagi-lagi memang takdir, kenapa aku harus lahir di sana, di Abepura, Jaya Pura, Irian Jaya?! Jika mengingat cerita ortu dulu, maka sifat laki-lakiku menjadi cengeng dan luluh. Bagaimana tidak, saat aku bayi, aku sudah sering di bawa keluar rumah malam-malam, diletakkan di dalam gerobak (nggak tahu pasti, gerobak kayu atau apa), mengikuti ibuku yang berdagang. Betul, ibuku dan bapakku berdagang kecil-kecilan di pusat-pusat keramaian kota Jaya Pura waktu itu. Ibuku bercerita, bahwa dia pernah juga berjualan jamu. Bagaimanapun aku tak pernah malu, terlahir dari keluarga miskin. Aku begitu bangga mempunya ortu yang berjiwa besar dan berhati kaya, mempunyai tekad untuk bertransmigrasi dari Jawa Tengah ke Irian Jaya, demi menghidupi keluarga, tanpa menengadah dan meminta-minta warisan harta kakek. Aku bangga mempunyai ortu yang tak gengsi dalam bekerja, walaupun pekerjaan itu zahirnya remeh, bahkan mungkin hina. Halal dan keikhlasan merupakan standar yang terpenting! Satu hal yang selalu kuingat, yang disampaikan ayah waktu itu, “Standar kaya atau tidaknya seseorang itu, tidak dilihat dari banyak-sedikitnya harta, tapi dilihat dari cara dia bersyukur kepada Allah,” 

Aku tak tahu pasti, berapa umurku saat itu, ketika aku kemudian diboyong ke Jawa. Yang jelas, waktu itu aku masih ingat, punya celana panjang batman merah yang sering dipakaikan ibuku. Waktu itu, aku juga belum bisa bahasa Jawa, karena saat di Jaya Pura, kami menggunakan bahasa Indonesia, menyesuaikan komunitas transmigran dari berbagai propinsi. Waktu itu, aku juga masih sering digendong orang-orang yang datang ke masjid (rumahku dekat masjid). Ada hal unik yang terjadi saat itu. Apa gerangan? Yaitu suasana siang bolong yang tiba-tiba berubah menjadi gelap. Bibi dan para tetangga terlihat panik. Ibuku juga. Aku yang waktu itu baru saja dimandikan ibu dan dipakaikan celana pun belum terlalu respon dengan keadaan tersebut. Beberapa saat kemudian, beberapa orang berteriak, “Kiamat! Kiamat! Kiamat!” Bibiku yang terlihat mondar-mandir, terlihat sangat panik dan kemudian mendengungkan adzan. Katanya, kalau adzan masih dikumandangkan, maka kiamat belum akan terjadi. Entahlah, paman dan para lelaki waktu itu tidak berada di rumah. Suasana pun semakin terasa mencekam, sampai akhirnya suasana membaik dan menjadi terang kembali, diiringi hujan debu. Ternyata, Gunung Merapi meletus! Melihat hal tersebut, orang-orang pun menjadi lega. Bahkan aku dan anak-anak kecil yang lain berlari-lari kecil di halaman, menangkap abu yang turun cukup deras.   
Ayahku pun kembali lagi ke Irian Jaya, sedangkan aku, ibu, dan kakakku ditinggal Jawa. Suatu malam, ibu menangis, melihat kakakku yang sakit-sakitan. Saat itu juga, aku punya bisul di pinggir mata yang pada akhirnya pecah. Darah segar pun membasahi sebagian mukaku.
            Tujuh bulan sekali ayah pulang ke Jawa. Oleh-oleh yang sering ayah bawa waktu itu adalah biskuit Khong Guan (nggak tahu pasti gimana tulisannya) dan gula-gula. Ayah juga kadang bawa majalah tebal (semacam buku tepatnya) yang di sana terdapat koleksi gambar-gambar antik, mulai dari macam-macam mobil, sepeda motor, bonsai, kucing, dll. Anehnya, di majalah itu juga ada gambar artis-artis, seperti Paramita Rosadi (Pemeran di Sinetron Karmila), Desi Ratnasari , dll.
            Ada pengalaman unik dan tak pernah hilang dari ingatanku. Saat itu aku sudah masuk di TK, sedang kakakku di SD. Waktu itu aku dan kakakku tidur siang (kadang kita masih tidur sekamar), dan terbangun kira-kira setelah ashar. Suasana agak mendung. Entahlah, dengan kompak, kami langsung ganti baju sekolah. Tentu niat kami menuju sekolah. Kami sangka waktu adalah pagi hari (tanpa tengok jam). Aku dan kakakku pun sudah berangkat sampai di depan masjid dan tiba-tiba diingatkan seseorang kalau waktu itu adalah sore hari.
            Bukan hanya itu, ada pengalaman lebih parah lagi! Pagi-pagi sekali, aku dan kakakku berangkat ke sekolah. Letak TK dan SD pun tak berjauhan, sehingga kami sering berangkat bersama. Aku merupakan murid TK pertama kali yang datang ke sekolah waktu itu. Kakakku pun sudah meninggalkanku, menuju ke sekolahnya. Saat itu juga, tiba-tiba perutku terasa sakit banget. Ternyata ingin BAB. Padahal kalau nggak salah WC waktu itu masih terkunci. Dengan sekuat tenaga, aku pun mencoba menahannya, tapi ternyata gagal (aku nggak ingat kenapa waktu itu tiba-tiba udah keluar di dalam celana (maklum anak kecil). Singkatnya, “musibah” yang terjadi pada diriku pun di ketahui bu Mur, guru TK waktu itu. Parahnya, Bu Mur justru menyuruhku cebok di selokan pinggir sekolah. Bukan hanya itu saja, aku jadi tontonan gratis. Tanpa rasa dosa mereka menyaksikan aksiku di selokan. 100 % Parah!!! Sekali lagi maklum, anak kecil belum tahu malu. Akhirnya, aku pun disuruh pulang, diantar temanku, sambil membawa celana yang sudah najis itu. Tanpa rasa dosa, aku pulang dari TK ke rumah tanpa celana. Alhamdulillah-nya, waktu itu, kemeja yang aku pakai lumayan panjang, sehingga nggak ada yang perlu disensor. Karena waktu itu musim hujan, aku juga sempat terpeleset. Jalan pun masih berupa tanah licin,naik-turun, belum ada pengaturan, apalagi aspal. Orang-orang di jalan yang melihat aku tanpa celana pun bertanya, “Kenapa, Dik?” aku pun menjawab, “Jatuh, terpeleset!” inilah awal aku menggunakan tauriah (semacam mengalihkan suatu jawaban kepada hal yg memang terjadi, tapi tidak sesuai dengan jawaban pertanyaan yang sesungguhnya) dalam hidupku. Inilah awal aku berkilah, tanpa harus berbohong!
            Hal unik lain adalah waktu sekolah dulu aku sering tidak memakai sepatu. Kaki pun sering terlihat kusut. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan, aku menggunakan embun yang menempel di rerumputan sebagai solusi. Caranya dengan mengusapkan tangan di rerumputan yang basah itu, kemudian mengusapkan ke kakiku yang kusut itu.
            Juga, saat kecilku, aku pernah di tampar sandal oleh ayahku (Saat beberapa bulan ayah di Jawa, sebelum berangkat lagi ke Irian Jaya). Aku masih ingat, sandal yang digunakan waktu itu berwarna hijau. Penyebabnya adalah karena aku justru ngobrol, padahal seharusnya aku memuroja’ah bacaan yang akan disetorkan kepada ayahku. Aku juga pernah di diikat dengan selendang di pinggir ranjang kamar. Kalau ini, aku lupa penyebabnya.
            Saat kecil ini juga, aku sering bermain-main masakan dengan tetangga-tetanggaku, baik laki-laki atau perempuan. Kami akan patungan, misalnya aku bawa bawang dan cabainya, kemudian teman yang lain ada yang bertugas memetik sayur-sayuran di ladang, ada juga yang bertugas mencari kayu, membawa peralatan, dll. Setelah selesai, kami akan makan bersama-sama. Pokoknya asyik. Kita juga akan mandi, cebur-ceburan di sungai dekat rumah, yang waktu itu masih mengalir jernih. Entahlah, sekarang kayaknya udah tercemar. Kadang kita juga buat rumah-rumahan di kebun. Kalau lagi musim jamur, kita akan beramai-ramai cari jamur sepagi (sebutan waktu itu) yang kemudian kita panggang (dibungkus daun pisang) sambil ditaburi sedikit garam. Setelah itu kita nikmati. Kita sering menyebut jamur yang udah dipanggang itu dengan jamur pepes.
            Aku pun masuk SD. Di SD inilah, tepatnya di kelas 3 SD, jariku pernah terjepit pintu dan hampir putus. Di SD ini jugalah aku mengikuti lomba muratal quran sekabupaten Purworejo. Keajaiban terjadi, tanpa disangka-sangka alhamdulillah aku dapat juara pertama. Saat pengumuman kemenangan itu, aku langsung diciumi guru agamaku berkali-kali di tempat umum (tempat lomba). Mungkin itu ekspresi kebanggaan seorang guru. Padahal guruku itu perempuan, namanya Bu Asminah. Beliau tinggal di Magelang. Akhirnya, aku pun ditawari dan mau digratisi macam-macam di pasar Purworejo (tempat perlombaan waktu itu di pusat kabupaten). Anehnya, waktu itu aku menolak, entah malu atau apa, nggak tahu. Di SD ini pula aku dan teman-temanku sering belajar kelompok. Tempat di gilir, dari dusun yang satu ke dusun yang lain, bahkan hampir mengitari satu desa. Kala menjelang ujian, kami beramai-ramai belajar ke rumah para guru. Ada yang masih sedesa dan ada pula yang berbeda desa. Entah itu di dalam atau luar desa, yang jelas kami semangat banget. Padahal pembelajaran itu, terkadang dilakukan pada malam hari. Dengan obor daun kelapa kering (blarak), kami beramai-ramai menuju ke rumah sang guru. Tak ada rasa bosan, walaupun waktu itu kami juga melewati  pinggiran sawah. Ular dan serangga-serangga liar sangat mungkin menggigit kami waktu itu, namun Allah selalu menyelamatkan kami. Alhamdulillah.
Asal tahu aja, di akhir-akhir masa SD, aku sudah mulai merasakan perasaan-perasaan aneh dengan lawan jenis. Tahu sendirilah apa perasaan itu. Ya, aku mulai dewasa. Namun, itu sekadar perasaan yang menjadi fitrah manusia. Cinta sebenarnya merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, suci dan tak mempunyai unsur “kotor” sama sekali. Hanya saja, cinta itu kemudian akan menjadi hal yang sangat “kotor” bahkan bertentangan dengan aturan-aturan Allah itu sendiri, jika di tempatkan tidak pada tempatnya dan tidak pada kondisi yang halal!  
            Waktu terus berputar, sampai akhirnya mengantarkanku ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu MTsN Bener, Purworejo. Di MtsN inilah, aku sambil mondok di Pesantren Al-Falah, di bawah asuhan KH.Ibnu Hajar. Banyak hal unik dan pengalaman yang menarik yang tidak bisa saya sebutkan di sini satu persatu. Mungkin satu hal saja. Di masa-masa MTsN ini, aku mulai mengenal masalah teologi, perbandingan Islam-Kristen. Semua itu aku dapatkan dari sebuah novel teologi milik ayahku. Novel itu masih sering saya baca sampai akhirnya ikut kubawa ke Mesir juga. Hal itu yang nantinya mendorongku untuk membeli injil (tanpa sepengetahuan ortu). Tujuanku adalah mencocokkan keterangan novel itu dengan injil yang asli. Apakah penulis novel itu benar-benar mengutip ayat dari injil atau mengarang saja?! Dari sinilah aku yang belum saatnya mengetahui perbandingan Islam-Kristen itu, akhirnya sering merasa stress dengan hakikat Islam. Aku yang belum cukup umur untuk mengetahui ilmu teologi beserta hujah-hujahnya itu sering melamun, memikirkan hakikat agama yang ada! Robbuna Yastur….
            Saat aku naik ke SMA (SMA Takhassus Al-Qur’an Kalibeber Wonosobo), penasaranku akan ilmu perbandingan agama semakin kuat. Pada akhirnya niatku untuk membeli injil tersampaikan juga. Aku membeli injil (Alkitab) di Rita Pasar Raya Wonosobo, terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, cet. 56 tahun 2006. Injil itu saat ini ikut kubawa ke Mesir juga.
            Mungkin masa-masa SMA ini merupakan masa-masa yang paling “ekstrem” yang berpengaruh  besar terhadap “jalur” hidupku selanjutnya. Saat itu aku juga tinggal di PPTQ Al-Asy’ariyyah, tepatnya di blok F di bawah binaan Ust. Mursyidi dan stafnya. Di blok F inilah banyak hal yang nggak lumrah, baik dan buruk yang pernah saya alami. Yang penting aku ambil hikmahnya saja!
            Di SMA, awalnya aku sudah masuk jurusan IPA, namun kemudian pindah ke jurusan Bahasa, dengan alasan mematangkan Bahasa Arab (atas saran ayah). Bagaimanapun, sampai sekarang aku masih sangat menyukai cabang-cabang ilmu IPA.
            Di SMA TAQ inilah banyak hal-hal baru yang aku dapatkan. Walaupun namanya Takhassus Al-Qur’an, namun ilmu-ilmu umum juga tak kalah untuk dipelajari. Inilah yang pada akhirnya membentuk pribadiku juga, pengagum keseimbangan IMTAQ dan IPTEK. Aku masih ingat betul bagaimana praktik membuat sabun, detergen, lilin, fiber, eksperimen-eksperimen fisika, eksperimen biologi, praktik kebahasaan di Lab, praktik komputer, dll. Bukan hanya itu saja, saat diadakan KBO (mirip dengan PPL) di sebuah desa di Wonosobo, secara diam-diam aku mengumpulkan lumut (musci) dan menelitinya serta membagi-baginya menjadi bagian-bagian sesuai fungsinya. Aku teliti, mana sporangium (kotak spora), daun, akar, dll, kemudian aku tempelkan di dalam buku dengan isolasi putih untuk melindunginya. Inilah awal pembelajaran eksperimen langsung akan IPTEK. Saat aku ke Mesir, buku dan koleksi-koleksi lumut itu masih utuh. Entahlah sekarang?! Saat di SMA ini aku juga mulai mempunyai hobi menulis. Sebuah naskah skenario drama yang berjudul “Aku Memang Cinta” sempat dimainkan dan diudarakan di radio POP FM Wonosobo. Sebagai penulis pemula, aku sangat bangga waktu itu. Sayangnya, aku tak merakamnya sebagai dokumentasi.
            SMATAQ juga menjadi perantara sampainya aku di Negeri Musa. SMATAQ juga yang menjadi perantara bagiku untuk bisa duduk manis di depan profesor dan doktor-doktor universitas al-Azhar saat ini. Walaupun ada lembaga lain yang ikut menjadi perantara kepergianku ke Mesir, namun SMATAQ-lah yang mengawalinya. Semoga Allah membalas jasa baik para masyayikh, dewan guru dan pembina di sana, amin. Terima kasih PPTQ dan SMATAQ....
            Ada satu pengalaman unik sebelum kepergianku ke Mesir, yaitu aku sempat ikut seleksi menjadi penyiar di salah satu radio terkenal Wonosobo. Hal ini aku lakukan karena pengumuman seleksi mahasiswa ke Timur Tengah tak kunjung datang. Aku sudah masuk ke tahap seleksi kedua. Namun, tiba-tiba ada pengumuman bahwa aku diterima belajar ke Timur Tengah, Mesir. Dengan serta-merta aku batalkan semua niat untuk menjadi seorang penyiar radio. Inilah nama-nama radio di Wonosobo yang masih kuingat, Radio POP FM Wonosobo, 98.8 Citra FM, Nawa Kartika FM. Adapun nama stasiun radio, tempat aku ikut casting itu, aku sudah lupa.     
            Sebenarnya tak pernah terpikirkan, kepergianku ke Mesir. Kenapa harus Mesir? Kenapa Al-Azhar? Kenapa dan kenapa? Bahkan, dulu, angan untuk sampai bangku SMA saja, terasa jauh. Semuanya seperti keajaiban! Aku tak mengira, bahwa Allah memberi kesempatan kepada diriku yang hina dan penuh dosa ini untuk sampai di Negeri Seribu Menara, berkunjung ke Piramida, Spinx, Alexandria, Syarmu El-Syeikh (bag.laut merah), Bukit Sinai, Nil, Makam Imam Syafi’I, Makam Ibnu Hajar al-‘Atsqolani, dll…
Allah juga telah menakdirkan aku tinggal di asrama, tinggal sekamar dengan orang dari negara lain, bercengkerama dengan mahasiswa lain dari berbagai penjuru dunia, seperti Rusia, Jerman, Perancis, Libia, Aljazair, Maroko, Bangladesh, Thailand, Mauritania, Kenya, dan lainnya….
Mungkin inilah jalan yang Allah tentukan untuk menyadarkanku akan kekuasaan-Nya. Dia bisa menghendaki apa saja dan menciptakan sebuah realita yang tak pernah terpikirkan sebelumnya di benak manusia….
Kawan, mari kita bersyukur akan kesempatan dan nikmat yang Allah berikan kepada kita untuk menuntut ilmu….
Kawan…marilah hal itu kita syukuri dengan terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu….
Marilah kita saling mengingatkan….
Marilah kita saling mendoakan….
Semoga berkah Allah mengiringi langkah kita semua, amin.

Rabbana atina fiddunya hasanah, wafil akhirati hasanah, wa qina ‘adzabannar…..
Wasallahu ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in…. 
  

Asrama Asdiqa’, Hay Asyir, Nasr City, Cairo, Senin, 7 Mei 2012 Pukul 02.03 am