Rabu, 29 Agustus 2012

Percikan Derai Cinta 3


Afrah tidak menemukan Bu Hasanah di pintu gerbang. Ia pun berkeliling beberapa saat lamanya. Ia amati orang-orang di sekitar itu, namun sosok Bu Hasanah belum juga kelihatan. Konyolnya ia tidak punya nomornya Bu Hasanah. Pada akhirnya, ia pun sampai di pintu gerbang lagi. Ia berdiri di sana beberapa saat dan akhirnya muncul Bu Hasanah dari luar.
“Ya Allah, ibu….dari mana? Terus, mana pak kiai?” tanya Afrah.
“Maaf, baru saja dari kantor polisi bersama pak kiai,”
“Lho?” Afrah keheranan.
“Tadi, saat pak kiai mau masuk bersama ibu, beliau tersadar kalau dompet yang berisi uang dan surat-surat penting di sakunya amblas entah ke mana,”
“Bukannya pak kiai pakai mobil pribadi?”
“Nggak, dia pakai taksi, mungkin saja terjatuh di dalam taksi tersebut,”  kata Bu Hasanah sambil menggandeng tangan Afrah menuju komplek cendrawasih.
“Sekarang pak kiai sedang di kantor polisi untuk mengurus dompetnya yang amblas itu. Sebelumnya, ibu dan pak kiai sempat panik, mencari solusi terbaik.” lanjut Bu Hasanah.
“Ya Allah…ada-ada saja titah-Mu hari ini,” bisik Afrah.
“Bu….” kata Afrah halus.
“Ya…” balasnya.
“Ada berita duka,” katanya datar.
“Apa? Gimana keadaan Nabila?” Bu Hasanah melotot mendengar penuturan Afrah.
“Bukan, bukan Nabila, tapi ibunya Kang Latef,”
“Apa? Ibunya Latef?” Bu Hasanah mencengkeram lengan Afrah, matanya melotot.
“Ya, ibunya Latef meninggal,”
“Serius, kau? Jangan bercanda!”
“Serius, Bu. Ibunya Kang Latef meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” Kata Bu Hasanah, kemudian berlari begitu saja meninggalkan Afrah sendirian. Ia langsung menuju komplek merpati.
Bu Hasanah tak mendapatkan siapa-siapa, saat sampai di kamar  yang dituju. Sambil masih ngos-ngosan, ia mencoba bertanya seseorang yang melintas di dekat kamar itu. Rupanya orang itu, pengunjung baru yang akan menengok salah satu keluarganya yang ada di rumah sakit. Bu Hasanah tak mendapatkan jawaban apa-apa. Ia kecewa.
  Dengan lesu, ia mencoba mencari informasi tentang letak kamar mayat. Ia juga mencari data mayat yang ada pada hari itu. Namun, menurut keterangan petugas, mayat ibunya Latef, sudah di bawa pulang, baru saja.

* * *



Hampir seminggu, Nabila meringkuk di ramah sakit. Keadaannya pun membaik. Ia sudah mulai mampu untuk duduk. Tubuhnya terlihat kurus sekali, matanya cekung, wajahnya tak lagi berseri-seri. Sekitar dua hari lagi, ia akan dibawa pulang.
Dalam keadaan sakit tersebut, ia masih saja mengingat Latef. Nabila tak bisa menghilangkan bayangan Latef dari hadapannya. Perasaannya pada Latef begitu dahsyat. Cintanya pada Latef sudah mendarah-daging. Lateflah harapan satu-satunya, yang akan menjadi imamnya. Lateflah yang akan menghapuskan duka-lara, menggantikan  kedua orang tua dan keluarganya yang tahun lalu meninggalkan Nabila untuk selama-lamanya. Bencana longsor yang sangat parah di lereng gunung siwuluh, Purworejo, tahun lalu, telah melenyapkan rumah dan merenggut nyawa seluruh keluarganya.
“Gimana, Dik? Lebih baikkah?” tanya Bu Hasanah membuyarkan lamunan Nabila. Ia tersenyum.
“Alhamdulillah,” jawabnya singkat.
“Mau minum air hangat?” tawar Bu Hasanah.
“Nanti saja,”
“Sakit itu meringankan dosa-dosa,” Bu Hasanah memijit-mijit tangan Nabila sambil menghiburnya.
“Semoga saja,” sahutnya.
“Makanya salah satu teladan doa Rasul ketika mengunjungi orang sakit adalah sambil mengucapkan, “La ba’sa, thahurun insya Allah” yang artinya “Nggak apa-apa, suci insya Allah” yang tentunya bermaksud suci dari dosa-dosa.”  Bu Hasanah menerangkan. Nabila tersenyum sambil manggut-manggut mengiyakan keterangan Bu Hasanah tersebut.
Bu Hasanah, petugas kesehatan yang juga hapal al-Qur’an tersebut, dulu juga pernah menjadi santri di Pesantren Darul Qur’an.
“Silahkan kalau istirahat, agar membaik kesehatan Adik,” Katanya sambil pindah tempat duduk, membiarkan Nabila merasa tenang sendiri. Ia duduk tak jauh dari Nabila. Ia mengambil al-Qur’an kecil yang ada disakunya. Rupanya, Bu Hasanah ingin mengulang-ulang hapalan al-Qur’annya. Mulutnya pun berkomat-kamit. Ia selalu menggunakan waktu luang untuk mengulang hapalan al-Qur’an. Kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak menjadi santri tersebut telah terhujam kuat dalam dirinya.

* * *


Sepeninggal ibunya, Latef  hidup sendirian di gubug reot di pojok desa. Hari-harinya berteman sepi. Cicitan burung-burung dan suara binatang-binatang di hutan belakang rumahnya menjadi teman yang setia. Adapun pada malam hari, ia akan bahagia bersama-sama anak-anak kecil yang datang ke surau dekat rumahnya. Ia menjadi imam dan ustadz yang mengajar al-Qur’an anak-anak kecil di surau itu.
Pernah suatu waktu, ia berniat untuk kembali ke Pesantren Darul Qur’an, namun niat itu ia hempaskan jauh-jauh. Ia mungkin akan lebih bermanfaat di desanya, menjadi imam dan membimbing anak-anak di surau, agar kelak menjadi manusia-manusia yang berguna bagi lingkungannya. Selain itu, ia bermaksud mengurus sawah dan ladang yang diwariskan ibunya. Ia juga masih punya beberapa kambing yang diwariskan ibunya.
Malam itu, Latef baru saja kembali dari surau. Ia lepaskan sarung, kemeja dan peci yang ia pakai. Ia hanya memakai celana tiga perempat dan kaus putih ketat yang menutupi tubuhnya. Otot-otot yang menonjol dan badannya yang terlihat begitu kekar, menunjukkan bahwa lelaki itu merupakan pekerja keras. Ia bukan tipe lelaki yang mudah berpangku tangan.
Latef membaringkat tubuhnya di atas kasur dengan seprai kusut hijau. Ia memandang ke langit-langit kamarnya. Pikirannya mulai melayang entah kemana. Sesekali ia menghela napas panjang. Suara jangkrik dan binatang-binatang malam dari belakang rumahnya menemaninya mengingat memori-memori lama saat ia menjadi Abdi Dalem di Pesantren Darul Qur’an. Ia masih ingat betul, saat ibunya mengantarkannya ke pesantren itu. Ia ingat betul bagaimana ibunya menyerahkan dirinya kepada Kiai Nawawi untuk mendidiknya. Sebagai anak kecil yang yatim, Kiai Nawawi pun sangat menyayanginya. Semua biaya hidup, termasuk biaya Sekolah Dasar di dekat Pesantren Darul Qur’an, semuanya ditanggung Kiai Nawawi. Kasih sayang Kiai Nawawi sampai pada puncaknya ketika kemudian Latef menjadi Abdi Dalem. Ia telah dianggap sebagai anak kandungnya oleh Kiai Nawawi. Tak berapa lama setelah itu, datanglah seorang anak perempuan kecil yang di kemudian hari juga menjadi Abdi Dalem. Perempuan kecil itu kini telah menjadi dewasa sepeti dirinya, dialah Nabila.
Latef mengucek-ucek matanya, mencoba melenyapkan Nabila dari bayangannya. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan. Namun, bayangan Nabila masih belum hilang dari ingatannya. Ia pun memiringkan tubuhnya ke kiri. Lagi-lagi, wajah ayu itu semakin menggoda kedewasaannya. Ah, seandainya ia bisa menikahinya!
Hujan deras mengguyur malam itu. Lampu mati. Air menetes dari atap yang bocor, sementara Latef menghidupkan teplok-teplok untuk menerangi rumahnya. Ia bermaksud duduk di kursi bambu yang ada diruang tamu. Baru saja duduk, ia mendengar seseorang mengetuk pintunya. Ia heran. Siapa gerangan yang datang malam-malam dalam keadaan hujan deras seperti malam ini. Ia pun mencoba mengintip dari jendela. Ia melihat seseorang berdiri di depan pintunya dengan pakaian serba putih membawa paying di tangannya. Kepalanya pun tertutup kain putih. Ia sempat tersentak melihat apa yang berada di depan pintunya itu. Orang itu kini mengentuk pintu lagi. Sebagai laki-laki yang pemberani, ia pun membuka pintu. Mata Latef terbelalak saat melihat orang yang ada di depannya. Ia terpaku beberapa saat lamanya. Orang itu kini tersenyum. Latef  tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia pun mencoba berkata,
“Nabila…..”  orang itu masih saja tersenyum.
“Benarkah Kau Nabila,” Latef mengusap matanya, tak percaya bahwa orang itu Nabila.
“Ya, kang. Saya Nabila, calon istrimu,” katanya. Jantung Latef berdegub kencang. Ia menjadi serba kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Bagaimana mungkin mempersilahkan masuk seorang perempuan ke dalam rumahnya. Bagimana mungkin mengizinkan seorang perempuan ke dalam rumah seorang bujangan seperti dirinya. Namun, apa yang akan terjadi, seandainya Latef tak mengizinkannya perempuan itu masuk, padahal di luar sana gelap dan hujan turun deras sekali. Ia serba salah.
“Silahkan, masuk….” Ia pun mempersilahkan perempuan itu masuk.
Nabila duduk di kursi bambu di ruang tamu.
“Nabila, kenapa kau bisa ada di sini?”
“Ah, Kang Latef…..” katanya sambil tersenyum manja. Latef hanya bisa menelan ludah manakala melihat senyum manja Nabila. Tubuhnya bagaikan tersengat aliran listrik. Ia pun tertunduk. Saat itulah ia baru sadar, kalau dirinya hanya memakai singlet. Ia bermaksud berbalik, masuk ke dalam kamar untuk memakai baju. Sungguh, tidak sopan menerima tamu hanya dengan keadaan pakaian seperti itu. Ia pun bermaksud melangkahkan kakinya, namun Nabila berdiri dengan cepat, mencegahnya. Nabila menangkap lengan Latef. Ia membalikkan tubuh Latef dengan paksa.
“Mau kemana, Kang….” Katanya penuh manja.
“Di sini saja, Kang…” lanjutnya sambil meletakkan tangannya di atas dada Latef.
   “Tidaaakkkk!!!!” Latef terjaga. Rupanya ia baru saja bermimpi. Ia duduk. Ia mengucapkan ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Kemudian, ia bangkit menuju sendang di belakang rumahnya untuk  berwudhu.
Ia shalat sunah malam itu. Ia berdoa,
“Ya Allah, ampuni dosaku, dosa orang tuaku, dosa guru-guruku dan dosa muslimin-muslimat semuanya. Ya Allah, aku memohon segala kebaikan dan aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan. Ya Allah, tunjukkan kepadaku bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dari azab neraka, dari kejinya fitnah hidup  dan setelah mati, juga dari fitnah Dajjal. Ya Allah, berilah daku ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, rizki yang banyak dan halal. Ya Allah, pertemukanlah ku dengan jodoh yang Engkau kehendaki. Pertemukanlah aku dengan jodoh yang salehah yang menyayangkiku karena-Mu, yang setia kepadaku karena-Mu dan yang taat kepadaku karena-Mu. Ya Allah, jodohkanlah aku dengan istri yang taat kepada-Mu dan yang mampu mendidik anak-anakku nanti di jalan-Mu. Ya Allah, kuserahkan jiwa-ragaku, hidup dan matiku kepada-Mu. Hanya kepada-Mulah hambamu ini memohon. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan untuk baginda Rasulullah Muhammad Saw, keluarga beliau, juga para sahabat-sahabat beliau semuanya. Amin.

BERSAMBUNG KE EPISODE 4……….