Rabu, 29 Agustus 2012

Percikan Derai Cinta 2


Hujan mengguyur kota Wonosobo sejak pagi. Air menggenang di jalan-jalan. Hujan pun menambah cuaca Wonosobo yang aslinya dingin menjadi semakin dingin. Lembah pegunungan Dieng merupakan salah satu daerah terdingin di Jawa Tengah. Bahkan, menurut sebuah penelitian, suhu dingin di puncak pegunungan Dieng pada bulan Juli/Agustus, akan sama dengan beberapa tempat di Eropa saat musim dingin.
Hiruk-pikuk manusia di Rumah Sakit Umum Wonosobo (RSUW) menjadi pemandangan umum setiap harinya. Rumah sakit yang berada di pusat kota itu, merupakan salah satu Rumah Sakit terbesar di Wonosobo. Selain letaknya yang strategis, RSUW juga memiliki sejumlah dokter yang teruji kepiawaiannya.
Nabila masih meringkuk di salah satu ruangan, Blok A, komplek cendrawasih, RSUW. Ia ditemani Lela, Afrah, dan seorang petugas kesehatan dari pesantren Darul Qur’an. Lela dan Afrah keluar, membiarkan Nabila istirahat. Sementara itu, Bu Hasanah, petugas kesehatan dari pesantren tersebut, masih tetap di dalam ruangan bersama Nabila.

“Pantas saja, Nabila langsung pingsan saat itu,” kata Afrah kepada Lela di emperan.
“Ya, kasihan, Nabila menderita sakit maag yang cukup serius,”
“Bukan hanya itu, menurut dokter tadi, Nabila juga mengalami gangguan di syaraf otaknya. Jika tidak segera ditangani, maka bisa menyebabkan stroke,”
Lela menghela napas panjang. Pandangannya menatap lurus ke depan. Kemudian berkata,
“Apakah dokter menjelaskan penyebab gangguan di syaraf otaknya tersebut?”
“Ya, menurutnya, Nabila sering mengalami stres yang ekstrem. Aku sendiri, sebagai sahabat sekamarnya, baru tahu hal itu. Nabila memang sering melamun. Pribadinya juga cenderung tertutup,”
“Duh, Gusti….semoga Nabila segera sembuh,” kata Lela lirih.
Keduanya masih duduk di kursi panjang, di emperan. Beberapa perawat terlihat sibuk, berjalan ke sana-sini menjalankan tugas. Seragam mereka putih-putih, melambangkan kesucian. Hanya saja, betis-betis mereka yang indah dibiarkan terbuka begitu saja. Mungkin, akan menjadi lebih indah lagi, jika betis-betis itu tertutup dan dibuka untuk pasangan mereka saja.  
 “Lel, kau tahu siapa yang baru saja lewat di depan kita,” Tanya Afrah kepada Lela, sambil memandang seorang lelaki yang belum lenyap dari pandangan.
“Perasaan, aku pernah lihat orang itu,” katanya ragu-ragu.
“Aku yakin, dia itu Kang Latef, abdi dalem pesantren kita,”
“Gimana kau bisa yakin?” Lela mengernyitkan dahinya.
“Jenggot tipis dan hidungnya yang mancung itu, membutku yakin,”
“Halah, kau ini, kalau cuma jenggot dan hidung, milik orang lain juga ada yang sama,” katanya sambil sedikit mencibir.
“Genit, kau ini,” kata Afrah sambil mencubit Lela.
“Auw!!!” teriak Lela.
“Sssttt,” hardik Afrah.
“Sakit, tahu…” katanya agak meringis.
“Ngomong-ngomong, aku yakin laki-laki tadi adalah Kang Latef,”
“Terserah, apa urusanku?” kata Lela sambil tersenyum bercanda. Gantian Afrah yang kini mencibir.
“Emangnya ngapain Kang Latef ada di sini?” celetuk Lela.
“Apa urusanku?” Afrah tertawa kecil. Mereka pun tertawa bersama, berusaha menghilangkan duka yang menyelimuti hati mereka, sejak beberapa hari lalu. Nabila, telah membuat kedua santri itu berduka.
“Permisi, apakah benar ini komplek merpati?” Seorang wanita paruh baya bertanya dan menghentikan tawa mereka.
“Bukan, ini komplek cendrawasih,” jawab Afrah.
“Terima kasih,” Wanita itu kemudian pergi.
Lela dan Afrah pun masuk ke dalam kamar.
“Kalian tunggu Nabila, Ibu mau keluar sebentar,” kata bu Hasanah pelan.
“Mau ke mana, Bu?” tanya Lela.
“Mau ke komplek sebelah. Ada kenalan sedesa ibu yang diopname juga di sini,”
“Baiklah, Bu,”
Lela dan Afrah bungkam sambil memandangi Nabila yang matanya masih terpejam. Ia masih koma. Cairan infus menetes agak cepat, merasuk ke dalam tubuh Nabila. Ruangan bercat putih sangat hening, hanya detak jarum jam yang memecah kesunyian.

* * *


“Silahkan, Bu…” Latef mempersilahkan Bu Hasanah masuk.
“Kok kebetulan sekali, bisa bertemu di sini,” lanjut Latef.
“Ya, kalau tadi kita nggak bertemu di depan mushala itu, mungkin ibu juga nggak akan tahu kalau ibu Aminah ada di sini,” kata Bu Hasanah memandangi ibunya Latef yang terbaring di atas ranjang. Matanya terpejam.
“Jadi, gimana perkembangan ibumu?”
“Sepertinya ibu saya memang sudah parah. Sejak pengobatan di RS.Sardjito, ibu tak mengalami banyak perubahan.” Kata Latef lesu.
“Harapan hidup ibu saya sudah sangat tipis,” Mata Latef berkaca-kaca. Laki-laki yang tidak pernah melihat wajah ayahnya sejak kelahirannya itu, merasa sangat terpukul dengan keadaan ibunya.
“Sabar, Nak, insya Allah ibumu akan baik-baik saja,” Mata Bu Hasanah  juga berkaca-kaca.
“Siapa saja yang menemani ibumu di sini?” lanjut Bu Hasanah sambil menyeka matanya yang lembab.
“Ada sepupu saya, tapi ia sedang di luar,”
Keduanya pun terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Bu Hasanah pamit keluar.
Latef memandangi wajah ibunya. Ia pegang tangannya. Ia kecup tangan itu. Ia kenang hari-hari yang indah bersama ibunya. Ia kenang saat dirinya kecil, hanya ibunyalah teman satu-satunya di rumah. Ia kenang saat ia tinggalkan ibunya sendirian demi sebuah misi suci yaitu nyantri di Pesantren Darul Qur’an, sekaligus mengabdi kepada kiai Nawawi dan keluarganya. Oleh karenanya ia bisa nyantri gratis, bahkan ia sering mendapatkan uang saku dari kiai Nawawi. Bukan hanya itu saja, kiai Nawawi lah yang membiayai pengobatan ibunya.
Jasa kiai Nawawi sungguh menjadi tameng baginya, untuk meneruskan hubungannya dengan Nabila. Memang berat bagi dirinya untuk menghilangkan perasaan cintanya kepada Nabila yang kini sudah dalam pinangan Gus Adib, putra bungsu Kiai Nawawi.
Sebenarnya, Latef belum tahu pasti, apakah Nabila sudah menerima lamaran Gus Adib atau belum. Bagaimanapun, ia mencoba melenyapkan Nabila dari bayangan matanya. Entahlah, semakin ia mencoba melupakan Nabila, rasanya justru semakin dekat saja wajah ayu itu.
Latef masih mengenggam tangan ibunya. Perasaannya kalut. Terkadang muncul rasa bersalah, karena tidak bisa menempatkan ibunya di rumah sakit yang mungkin lebih ahli dalam menangani penyakit ibunya yang sudah komplikasi itu. biaya lah yang menjadi alasannya. Beberapa saat lamanya, sisi keras Latef rapuh. Kelelakiannya lunak. Ia menangis sesenggukan di samping ibunya.    

* * *

“Jadi benar kataku, Latef ada di rumah sakit ini!” kata Afrah agak keras kepada Lela, setelah mendengarkan penjelasan Bu Hasanah. Ia tak sadar bahwa dirinya telah mengangkat suara keras di ruangan itu.
“Latef…” kata Nabila pelan. Semua orang yang ada di ruangan itu kaget mendengar Nabila yang mulai bergerak-gerak. Rasa kaget bercampur senang menjadi satu, manakala tadi Nabila mengucapkan sebuah kata, ‘Latef’.
“Latef…” kata Nabila lagi, pelan.
“Ya, Latef sedang menungguinya ibunya yang sakit di komplek sebelah.” Kata Bu Hasanah kepada Nabila. Lela dan Afrah pun merasa aneh, kenapa Nabila menyebut-nyebut nama Latef. Keduanya pun hanya bisa menebak, mungkin disebabkan kedekatan keduanya sebagai Abdi Dalem, sebagai pembantu keluarga kiai Nawawi.
Nabila sudah mulai bergerak-gerak, walaupun matanya masih terpejam.
“Atau kita suruh Kang Latef ke sini, ya, Bu?” saran Afrah.
“Husy, ngawur saja! Masa mempersilahkan lelaki lain ke sini?” tolak Lela sebelum Bu Hasanah sempat menjawab saran Afrah itu. Bu Hasanah hanya tersenyum.
“Terserah kalian berdua,” kata Bu Hasanah.
“Ya, siapa tahu bisa menjadi obat bagi Nabila,”
“Apa hubungannya dengan penyakit Nabila?” Lela masih bersikeras dengan pendiriannya.
“Mereka kan sama-sama Abdi Dalem, siapa tahu ada hubungan khusus? Siapa tahu, Nabila memendam perasaan yang begitu hebat dan rindu pada Kang Latef?” Afrah memandang lekat-lekat wajah Lela.
“Gimana? Siapa tahu, suara Latef bisa mengobati Nabila?!” Afrah mendesak lela.  Lela pun tak menjawab dan justru melirik Bu Hasanah.
“Menurut ibu nggak apa-apa. Lagian, kalau pun Latef jadi masuk ke sini, kita juga akan tetap di ruangan ini. Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” Bu Hasanah mengambil  keputusan tegas.
“Gimana, Lel?” Tanya Afrah lagi. Lela pun mengangguk.
“Baiklah, biar ibu memanggil Latef,” Bu Hasanah menawarkan diri. Ia bangkit. Baru saja Bu Hasanah berdiri, Hp di sakunya berdering. Ia segera mengambil Hp itu dan melihat nama yang tercantum di layar.
“Pak Kiai,” bisik Bu Hasanah.
“Assalamu’alikum Pak Kiai…”
“Wa’alaikumussalam Warahmatullah… saya ada di gerbang rumah sakit, ibu di mana?”
“Baiklah, saya akan segera ke situ, pak,”
“Klik” saluran terputus.
“Ada pak Kiai Nawawi,” kata Bu Hasanah kepada Afrah dan Lela. Ia pun bergegas ke luar.
“Ayo, kita rapikan semua barang-barang ini! Sebentar lagi pak kiai akan ke sini,” ajak Afrah kepada Lela. Tanpa isyarat, Lela pun langsung merapikan benda-benda dan peralatan yang ada di ruangan itu. Sebenarnya semuanya sudah teratur, namun kali ini mereka menaruh barang-barang ke dalam kolong ranjang. Keduanya kemudian menggelar karpet empuk yang tadinya masih tergulung di pojok ruangan.
Karpet hijau bermotif oriental itu terhampar, pas dengan ruangan yang lumayan sempit itu.
“Berarti nggak ada yang jadi memanggil Kang Latef ke sini?!” kata Afrah.
“Nunggu Bu Hasanah,”
“Atau aku coba cari sendiri kamarnya, ya?”
“Nggak usah, paling sebentar lagi Bu Hasanah sampai,”
“Kata Bu Hasanah, dia ada di dekat-dekat sini, biar aku cari,” Afrah ngeyel.
“Aduh, sayang…..nggak usah, nanti aku sendirian di sini,” bujuk Lela.
“Gimana coba, kalau nanti ada apa-apa dengan Nabila? bisa repot,” lanjutnya. Afrah bangkit, mondar-mandir.
“Baiklah, untuk kau apa yang nggak sih, Lel,” katanya kurang ikhlas. Kali ini Afrah benar-benar mengalah.
“Nah, gitu dong,” Lela menggoda Afrah.
“Senang, Senang Kau?!” Afrah bercanda sambil mencubit Lela.
“Auw…”
“Ssstt…” hardik Afrah.

Keduanya masih berada di kamar itu. Lama mereka menunggu Bu Hasanah yang katanya menjemput Kiai Nawai di gerbang rumah sakit. Afrah pun keluar ke emperan melihat-lihat situasi, siapa tahu Bu Hasanah datang. Baru saja membuka pintu, ia melihat beberapa orang berlari-lari kecil, bolak-balik.
“Ada apa, Mas?” tanyanya pada lelaki yang lewat di depannya.
“Kematian?”
“Apa?”
“Seorang pasien di komplek sebelah meninggal dunia,”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,”
“Boleh saya ikut menengok, Mas?” pinta Afrah.
“Mari!”
Afrah mengikuti lelaki itu, meninggalkan Afrah tanpa kata. Ia dan lelaki itu berjalan, sampai akhirnya tiba di komplek cendrawasih. Mereka menuju kamar yang di tuju.
Loh, bukannya dia itu Kang Latef?  Batin Afrah melihat sosok yang dikenalnya, berdiri di depan kamar. Afrah mendekat. Ia memberanikan diri menyapa laki-laki yang ternyata berlinangan air mata tersebut.
“Kang Latef?” sapa Afrah. Laki-laki itu seperti tersentak. Ia pandang Afrah.
“Ya, Dik,” Hanya kata itu yang ia ucapkan. Ia tak banyak peduli pada akhwat mungil di depannya. Pikirannya kalut.
Afrah pun melihat-lihat keadaan sekitar dan melihat laki-laki yang ia ikuti duduk di kursi emperan. Beberapa orang dengan wajah murung, juga ada di sana. Ia baru sadar kalau pasien yang meninggal itu adalah ibunya Latef. Air mukanya segera berubah. Hatinya ikut terkena sembilu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia salah tingkah. Ia pun bergegas menuju komplek Cendrawasih, di mana Nabila terbaring di sana. Saat ke sana, Bu Hasanah pun belum juga datang.
“Lel, coba aku tengok Bu Hasanah di gerbang,” katanya tiba-tiba, saat masuk ke dalam kamar. Afrah langsung pergi, tanpa melihat respon Lela. BERSAMBUNG KE EPISODE SELANJUTNYA…..

* * *