Rabu, 29 Agustus 2012

Percikan Derai Cinta 1


Bau malam begitu dekat dengan Latef yang saat itu berada di dekat jendela rumahnya, usang oleh waktu. Matanya lepas melesat menembus malam, gerimis, rumah-rumah,dan rimbunnya dedaunan pohon. Pikirannya melayang jauh melampui benda-benda di depannya dan sampai kepada seorang gadis yang membuat nestapa kelelakiaanya akhir-akhir ini. Sapaan angin malam lewat jendela semakin membuat ia menjerit dalam nyanyi sunyi. Ia begitu ingin bertegur sapa dengan gadis itu. Betapa tidak, gadis yang bak sungai berair jernih itu memang menggoda setiap lelaki untuk menceburkan ke dalamnya. Bukan hanya jernih kedua matanya, halus wajahnya, putih giginya, langsat kulitnya, melainkan juga begitu santun, halus budi pekertinya dan tahu betul dalam menjunjung tinggi kehormatan wanita.
"Nabila…" ucap Latef lirih bertautan dengan suara gerimis.
"Nabila, tak mungkin aku memilikimu.…" ucapnya lagi masih dengan suara lirih.
Suara gerimis yang mengenai dedaunan serta dinginnya angin malam menjadi saksi kenestapaan Latef malam itu. Ia masih melemparkan pandangannya ke depan sana, walaupun sebenarnya mustahil bagi dirinya untuk bisa melihat gadis itu dalam jasad aslinya. Ia sungguh tak peduli semua itu. Ia begitu menikmati gadis itu dalam pandangan maya, dalam dunia fatamorgana.
Latef menyeka mukanya. Gerimis yang tertiup angin melembabkan mukanya. Lambat laun ia tak tahan juga pada tiupan angin malam itu, sangat dingin.   Sesaat kemudian tanganya menutup jendela, menghempaskan malam.



* * *
"Bagaimanapun Adib adalah sahabat terdekatku, putra seorang Romo Kiai , di mana aku menimba ilmu kapada beliau. Romo Kiai juga yang telah membantu biaya pengobatan ibuku semenjak bapak tiada. Selain itu beliau juga telah menganggap keluargaku bagian dari keluarganya, semenjak aku menjadi abdi dalem  di pesantren." Kalimat demi kalimat ini masih menyusuri lorong-lorong pikiran Latef.
"Apakah aku pantas melanjutkan pertarungan dinginku dengan Adib, demi Nabila?"
"Apakah aku harus memperebutkan Nabila dan memutuskan tali silaturrahmi dengan Romo Kiai?"
Latef hampir saja putus asa. Ia bahkan sempat berkata dalam hatinya, jika saja Nabila tak pernah hadir di dunia ini, pastilah dirinya tak akan merasakan nestapa itu.
"Nabila…mengapa kau ditakdirkan hidup di dunia?"
"Mengapa kau ditakdirkan untuk dicinta?"
Hari-hari Latef penuh dengan dilema yang membuat pikirannya berputar-putar seperti gasing. Ia dalam keadaan yang sangat sulit. Bagaimana tidak, ia harus mempertaruhkan tali silaturahmi dengan “cinta” atau sebaliknya. Bukan hanya itu saja, ia juga sedih dengan keadaan ibunya yang saat ini tergolek lemah karena penyakit ketuaan dan komplikasi. Keadaanya melemah, tak mengalami peningkatan. Matanya terlihat begitu cekung. Tulang rahangnya terlihat semakin menonjol. Bibirnya pucat pasi. Memang, beberapa saat yang lalu keadaanya sudah membaik, selepas pengobatan dari RS.Sardjito, Yokyakarta, atas biaya Kiai Nawawi. Tapi, kini tubuh itu seakan hanya tersusun oleh tulang dan kulit.
"Huk..hukk…,Le…Le,dimana dirimu, Le?'' suara lemah dan terbata-bata keluar dari Asiyah, ibu Latef. Matanya tertutup. Walaupun begitu, masih saja terlihat bola matanya bergerak-gerak, dilihat dari gerakan kelopak matanya yang naik turun. Tangannya meraba-meraba ingin mencapai sesuatu.
"Latef ada di sini, di samping ibu?" Latef menjawab sambil mencapai tangan ibunya.
"Huk…huk…" Wanita tua itu terbatuk-batuk.
Latef memandangi wajah ibunya. Raut mukanya suram dan berkabut, tak menampakkan sedikit pun keceriaan. Bermacam-macam yang dipikirkannya, tak menentu.
Jarum jam berputar dan mengirama begitu teratur, sudah sepertiga malam. Jauh di luar sana, di dalam rumah-rumah, tubuh-tubuh terbaring dengan pulasnya, kecuali bagi jasad-jasad yang masih ingat hakikatnya, bermunajat kepada Tuhannya. Jasad-jasad yang tersungkur tak berdaya di atas sajadah, memercikkan derai cinta, menggapai cinta Sang Penguasa Cinta. Mereka terpekur dalam kesunyian, menyesali dosa serta meminta tercapainya harapan.
Latef menghamparkan sajadah di samping ibunya. Ia ingin menggapai cinta-Nya.Tubuh yang suci itu kemudian terpekur di hadapan Sang pencipta, memohon ampunan serta mendoakan kedua orang tuanya. Ia memang anak yang berbakti. Ia masih di atas sajadahnya, menunggui ibunya hingga malam enggan hadir, digantikan fajar.

* * *

" Kak, mau ikut kajian, nggak?" tanya Afrah pada kakaknya, Nabila.
"Di mana?"tanya Nabila dengan lesu.
"lantai III, komplek Fatimah az-Zahra" jawabnya
"Siapa nara sumbernya?" tanya Nabila
"Dr. Mukhotob Hamzah MM, dosen UNSIQ ( Universitas Sains Al-Qur'an) Wonosobo," jawab Afrah.
"Kau duluan saja" kata Nabila
"Ya udah, aku duluan, Kak,"kata Afrah
"Silakan…"Nabila mempersilakan adiknya.
Wajah rembulan Nabila kembali suram. Ia masih membawa matan alfiyah Ibnu Malik dan diary warna emas. Ia duduk menyandarkan tubuhnya di tembok, terlihat begitu lesu, tak ada gairah hidup. Ia membuka  diary emas yang ada di tangannya, tepatnya pada lembaran yang ketiga puluh dua, ditulisnya tadi malam. Di halaman atas ada tulisan yang paling mencolok, Yaitu " Derai Seorang Hawa." Tulisan itu ditulis menurut kehendak hatinya, tak peduli salah atau benar kalimat demi kalimatnya. Ia hanya ingin mencurahkan segala perasaannya malam itu lewat tarian-tarian pena.

Derai Seorang Hawa

(Detik ini aku tak tahu  apakah aku yang menguasai cinta ataukah cinta yang menguasai aku. Cintaku pada Latef telah mendarah daging di tubuhku. Aku bisa merasakan bahwa cintaku bukan cinta yang terlahir dari nafsu. Akhlaknya membuat aku takluk di hadapannya. Selain itu aku dapat menangkap darinya bahwa ia bukan tipe laki-laki pecundang, apalagi bajingan. Ia tidak banyak tingkah, tetapi sekali bertindak selalu dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga  seorang lelaki penyabar dalam menyikapi segala masalah. Ini semua kuketahui ketika aku dan ia sama-sama menjadi Abdi Dalem, sama-sama berkhidmat untuk Romo Kyai. Sama-sama ikhlas melayani tamu dan para santri. Capek dan pegal-pegal adalah sahabat setia.
Tapi, bagaimana sikapku pada Gus Adib, Putra Romo Kyai? Bagaimana sikapku atas lamarannya? Selama ini aku selalu menghormati Gus Adib sebagaimana aku menghormati Romo Kyai. Entahlah, bagaimanapun aku tak bisa  mencintainya. Apakah jika aku menolak lamarannnya berarti aku memutuskan tali silaturahmi dengan Romo Kiai? Apakah jika aku menolak lamaran itu, aku termasuk bagian dari orang-orang yang dilaknat Allah karena telah memutuskan tali silaturahmi? Apakah jika aku menolak lamaran itu berarti aku tidak berterima kasih atas jasa Romo Kiai yang telah mendidikku, menyekolahkanku dan  memberikan modal usaha untuk keluargaku? Ya Allah …Berilah petunjuk hambamu ini… ringankanlah cobaan hambamu ini. Lateflah pilihan hatiku...)

Nabila masih meresapi Kata-kata yang tergores di diary-nya itu. Matanya sembab, sesekali tangannya yang lembut mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Air mata yang berderai itu pun ikut berduka, pun semua benda-benda disekitarnya berderai, memercikkan deraian cinta. Jika hari itu,  ia telah dijamin untuk masuk surga, ia pasti memilih untuk mati, meninggalkan kepedihan hidup yang tiada tara. Namun, ia bukan para Rasul yang ma'sum, bukan juga Ulul Azmi yang telah terjamin oleh amal dan kesabaran mereka. Nabila berpikir bahwa dirinya hanya manusia lemah yang berlumur dosa, yang mau tidak mau harus menjadi manusia sebenarnya, berjuang untuk menggapai cinta-Nya. Ya, Allah sedang mengujinya.
Malam itu, Nabila masih berduka, berteman air mata. Ia timang-timang diary keemasan di tangannya. Sesekali ia menghela napas, melepaskan segala beban yang menyesakkan dada. Ia masih duduk bersandar sambil menerawang langit-langit kamar. Terkadang, secara refleks ia merapikan jilbab biru longgar yang menutupi auratnya. Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan pintu.

“Ya, sebentar,” kata Nabila sambil mengusap habis sisa-sisa air mata di pipinya. Ia mencoba berekspresi, mengubah mimik muka menjadi lebih ceria. Ia pun bangkit, dan buru-buru membuka pintu,
“Oh, Ibu…” katanya sambil tersenyum melihat Bu Nyai ada di depan pintu.
“Kau tak ikut acara di lantai atas?” Tanya Bu Nyai.
“Mmmm….” Jawabnya kikuk.
“Kebetulan sekali, karena ibu butuh kamu, Nduk…”
“Ada yang bisa di Bantu, Bu?”
“Tolong, bantu ibu menyetrika baju-baju Adib. Ia mau mengikuti acara bahtsul masail selama tiga hari di Jawa Timur, besok pagi.”
“Baik, Bu…”
“Maaf , ya Nduk…ibu lagi ada tamu,” kata Bu Nyai sampil mengusap-usap pundak Nabila.
“Tidak apa-apa, Bu…” Kata Nabila sambil tersenyum.
Bu Nyai Hasanah meninggalkan Nabila. Tanpa basa-basi, Nabila pun bergegas menuju dalem, ke ruangan khusus, di mana biasanya ia menyetrika baju-baju keluarga dalem. Sebagai abdi dalem, Nabila tak pernah mengeluh dalam melaksanakan tugasnya. Baginya, ia bukan sekadar sebagai pembantu rumah tangga, akan tetapi merupakan sikap hormat dan tawadhu’ seorang santri kepada Romo Guru. Bukan hanya itu, Nabila telah menganggap Pak Kiai dan Bu Nyai sebagai orang tuanya sendiri.
Saat masuk dalem, Nabila berpapasan dengan Gus Adib. Ia hanya berjalan cepat sambil menunduk, meyembunyikan wajahnya dari pandangan pria berjenggot tipis  dan berhidung mancung itu. Melihat sikap Nabila yang aneh itu, Gus Adib pun berhenti sejenak, memandangi Nabila, sampai akhirnya ia hilang dari pandangan, lenyap di balik tembok.

* * *


Pagi itu, Gus Adib berangkat menuju salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, dalam rangka bahtsul masail yang diikuti oleh seluruh perwakilan pesantren di Jawa. Acara itu diadakan rutin setiap bulan Syawal, setiap tahunnya. Seharusnya Kiai Nawawi yang mewakili Pesantrennya, Darul Qur’an. Namun, akhir-akhir ini, Kiai Nawawi sibuk menjadi pembimbing manasik haji untuk calon jama’ah haji Wonosobo. Karenanya, pada kali ini, Gus Adib mewakili abahnya ke Jawa Timur.
Sementara itu, seperti biasa, aktifitas santriwan dan santri putri pesantren Darul Qur’an berjalan tertib. Semerbak aroma para penuntut ilmu syar’i  memenuhi setiap sudut Pesantren Darul Qur’an. Ya, aroma itu begitu wangi, sewangi bunga-bunga taman firdaus. Aroma itu adalah aroma suci yang muncul dari al-Qur’an yang mereka baca, mereka hapal, dan berusaha amalkan. Pondok Pesantren Darul Qur’an merupakan salah satu Pesantren Qur’an yang terbesar di Wonosobo, mencetak para hafidz dan hafidzah di Nusantara. Dengan meyisipkan kitab-kitab hadis, fikih, ulumul qur’an dan lughah ke dalam kurikulum pesantren, pesantren ini telah membekali santri-santrinya dengan al-Qur’an dan juga perangkat penafsirannya.
“Kak, kok tadi malam nggak hadir di kajian?” Tanya Afrah, yang baru saja pulang dari madrasah diniah pagi kepada Nabila.
“Ada tugas dari Ibu,” jawan Nabila datar. Tak ada senyum sedikit pun yang terkembang di bibirnya. Wajahnya terlihat murung dan pucat. Melihat sikap Nabila yang dingin itu, Afrah pun kembali bertanya.
“Kakak sakit?” Tanya Afrah yang memiliki baby face itu.
“Nggak…” jawab Nabila masih datar. Afrah pun memandangi lekat-lekat wajah Nabila.
“Kak, jangan bohong! kakak sakit, kan?” Tanya Afrah mendesak. Kali ini Nabila justru membisu. Bibirnya menggigil, bergetar. Ia meneteskan air mata. Afrah yang menyaksikan kejadian itu menjadi panik.
“Duh, Gusti Pangeran, apa yang harus kulakukan?” Batinnya. Afrah mondar-mandir di dalam kamar. Ia tepuk-tepuk jidatnya.
“Kak….” Afrah jongkok dan memegangi bahu Nabila. Ia terlihat semakin pucat. Sedikit-sedikit, mata Nabila terpejam. Anggota-anggota tubuhnya, seakan-akan tak bertulang, lunglai.
“Brukkk…” Nabila ambruk. Afrah tak kuasa menahannya.
“Kak...Kak Nabilaaaaa……..!!!!” jerit Afrah histeris.
“Kak, Kakak kenapa? Kak Nabilaaaaa…..!!!” jeritnya lagi. Sontak, jeriatan Afrah, mengagetkan beberapa santri putri yang berada di sekitar situ. Mereka pun segera menggedor-gedor pintu kamar, tempat sumber jeritan itu. Beberapa kali mereka menggedor pintu, namun Afrah masih hanyut dalam tangisan histerisnya.
Pintu pun terus digedor-gedor, sampai akhirnya Afrah membukanya.
“Ada apa tho…?” Tanya seorang santri dengan penasaran. Afrah pun tak segera menjawab. Ia seperti orang kebingungan. Jilbab pink yang dipakainya terlihat awut-awutan.
“Itu Kak,…” katanya kemudian sambil menunjuk ke arah Nabila yang terkulai.
“La haula wala quwwata illa billah…” kata salah seorang santri sambil mendekati Nabila.  Ia meraih tangan Nabila dan meraba-raba suhunya.
“Dingin tangannya, panggil dokter!” kata Lela, santri tersebut.
“Biar saya, Kak,  yang memanggil dokter,” kata Afrah sambil menerobos beberapa santri putri yang berdiri di pintu. Tubuhnya yang imut-imut, membuatnya mudah untuk menorobos para santri tersebut. Walaupun bertubuh kecil dan memiliki wajah baby face, Afrah merupakan santri yang gesit. Ia selalu menjadi nomor satu dalam menolong santri lain.
Afrah berlari. Ia berlari ke sebelah kiri pondok pesantren, di mana ada lembaga kesehatan khusus untuk para santri. Ia mengangkat jarit batik yang ia pakai, supaya memudahkannya kakinya untuk melangkah. Ia terus lari pontang-panting sambil merapikan jilbabnya. Karena tergesa-gesa, ia tak melihat batu kecil di depannya. Ia pun tersandung dan ambruk. Sambil meringis kesakitan, ia mencoba langsung bangkit. Kini ia berjalan pelan, pincang, sambil memegangi lututnya. Beberapa saat kemudian, ia pun sampai.
“Ada yang bisa dibantu, dik?” Tanya seorang petugas.
“Itu kenapa lututnya?” Tanya petugas lain yang ada di situ.
“Nggak papa,” katanya sambil memaksakan diri untuk tersenyum dan mencoba duduk di kursi yang ada.
“Dokter Fatimah ada?” Tanya Afrah.
“Sedang ada acara sebentar, di Puskesmas Kecamatan,”
“Kapan pulang?” tanyanya.
“Mungkin sebelum dhuhur,”
“Waduh, gawat!!!” kata Nabila sambil menepuk jidatnya.
“Siapa yang sakit, Dik?” Tanya petugas. Afrah diam.
Petugas hanya bisa melongo, melihat tingkah Afrah yang aneh itu.  Mereka saling berpandangan.
“Mungkin bisa Ibu wakili, Dik,” seorang petugas berperawakan gemuk dan berseragam hijau menawarkan diri. Afrah belum menjawab. Ia memegang kuat jidatnya.
“Gimana, Dik,” tanya petugas lainnya.
“Ya, nggak papa,” jawabnya sambil langsung bangkit.

Afrah dan petugas berperawakan gemuk itu pun berjalan beriringan menuju pondok pesantren putri Darul Qur’an, lantai dasar, komplek Ummu Kultsum.
“Emang teman Adik sakit apa?” tanya petugas, saat keduanya hampir sampai kamar Nabila.
“Nggak tahu, Bu, tiba-tiba saja dia ambruk. Wajah dan tubuhnya pucat,”
“Pingsan?”

Belum sempat Afrah menjawab, keduanya pun sampai. Mereka mengucapkan salam dan masuk, menerobos kerumunan santri-santri yang ada di situ. Wajah-wajah mereke terlihat murung. Ada yang berkomat-kamit mengucapkan dzikir dan doa-doa untuk Nabila. Ada pula yang masih sempat berkomat-kamit melancarkan hapalan al-Qur’an yang akan disetor.
            Petugas pun mendeteksi keadaan Nabila dengan stetoskop. Ia juga meraba-raba suhu tubuh Nabila yang tak bergerak itu.
            “Gawat! Ada yang bisa panggil ambulan ke sini!” kata petugas.
            “Apa, Bu? Ambulan?” tanya salah seorang santri.
            “Ya, dia harus dibawa ke rumah sakit,”
            “Biar saya, Bu, yang panggil ambulan,” kata Afrah.
            “Jangan, biar saya saja,” kata Lela sambil memegangi tangan Afrah.
            “Udahlah, saya aja,” Afrah mengeyel. Sebelum Afrah sempat bangkit, Lela pun bangkit dan bergegas keluar kamar. Ia menuju ke tempat yang sama, Lembaga Kesehatan Santri. Sama halnya dengan Afrah, Lela mengangkat jarit batik yang ia pakai, untuk melangkah dengan leluasa. Jilbabnya yang ringan dan panjang menggelembung tertiup angin. Tiupan angin yang kuat, membuat jilbabnya terangkat dan menyingkap sebagian auratnya. Ia pun cepat-cepat menutupnya, sambil toleh kanan-kiri, khawatir ada yang melihatnya. Lela terus berjalan menuju Lembaga Kesehatan Santri (LKS).