Rabu, 29 Agustus 2012

Nikah VS Studi


Huft, panas bener hari ini. Nggak papa, yang penting tetep semangat! Oke kawan-kawanku semua. Kita bertemu lagi dalam “Gado-gado Ramadhan!”  Ini edisi gado-gado yang ketiga. Btw, yang gado-gado pertama dan kedua kemarin berjudul “Siapa Kita Sebenarnya?” dan “Aku Seorang Pendosa.” (judul yg ini lebih kepada pengalaman pribadi). Bisa dilihat lagi dicatatan2ku heheh :D
            Pengin tahu kenapa dinamakan gado-gado? Yang pasti, tulisan-tulisan seperti ini sekadar obrolan kita di bulan Ramadhan kali ini, yang diramu dari berbagai tema yang bercampur menjadi satu, menjadi “Obrolan Penting” untuk kita semua.

            Malu sebenarnya mengangkat tema yang berhubungan dengan menikah, tapi setelah aku pikir-pikir, aku beranikan diri untuk meraciknya dalam tulisan penting kali ini. Penting, kok gitu? Menikah merupakan “Sunah Nabi” yang penting untuk dilakukan bagi yang sudah mampu. Huft…! “Sudah Mampu?” Kira-kira enaknya gimana ya, standar sudah mampu di sini?! Hmmm..Oke dweh, sambil melihat kitab-kitab fikih, beberapa standar kemampuan yang mewajibkan orang menikah adalah sudah mampu secara biologis (pasti paham yg ini), memberi nafkah, takut terjerumus dalam perzinaan atau yg mendekati zina. (Sumber: Al Fiqh Al- Wadhih, DR. M. Bakr Ismail, vol. 2, hal.6).
            Nah, tuh, dah tahu kan maksud daripada “sudah mampu” tersebut. Tinggal sekarang kita mau gimana nih? Btw, secara biologis, kita-kita sudah tahu insya Allah. Adapun memberi nafkah, di sini yang kadang masih “abu-abu”! Lho, kok abu-abu, maksudnya, mas? Heheh Maksudnya adalah belum jelas. Bukankan seumuran kita sudah mampu bekerja tuk cari duit! Ya, itu kan juga berarti dah mampu cari nafkah. Emangnya modal darimana, Mas? Weleh-weleh kok tanya modal. Modalnya kemauan dan usaha (walaupun ada orang bilang: Nggak mudah cari pekerjaan walaupun ada modal!) Yo wes lah, kalau gitu, kalau menurut sebagian orang cari kerja itu nggak mudah… Emanganya sudah memanfaatkan semua keahlian dan skill?! Heheh, Oh ya untuk modal, kalau memang mau berwiraswasta, mungkin bisa pinjam dulu. Syukurlah kalau ortu dengan rela memberikan modal untuk anaknya (kalau ortu ada modal heheh), sehingga nggak susah pinjam sana-sini. Eits, intinya tinggal kita yang milih. Ingat obrolan-obrolan di sini sekadar memberi stimulus kita semua agar “mikir’ tentang hal ini tanpa ada maksud lain. Jadi, sekali lagi: Kita sendiri yang akan memilih “langkah” kita selanjutnya!
            Kemudian, masalah takut terjerumus pada zina atau yang mendekati zina. Waduh, kalau masalah ini, tentunya hampir semua yang masih jomblo juga takut. Bagaimana nggak, perkembangan zaman, IPTEK, media dan bebasnya pergaulan terkadang harus membuat kita “kuat-kuat” memegang iman. Sedikit aja salah kendali, mungkin akan menjerumuskan kita pada “maksiat” !!! Pokoknya ngeri jika nggak hati-hati heheh. Lagian setan juga demen banget menggoda kita-kita yang lagi pada jomblo, nih! Pokoknya hati-hati aja lah….
            Kalau ngomong-ngomong studi vs nikah, kayaknya asyik juga. Berdasarkan hasil “riset” lingkungan, ada beberapa hal mendasar di sana, diantaranya: Orang sudah mampu nikah tapi nggak mau nikah karena takut mengganggu studi, orang mampu dan akhirnya menikah dengan alasan ketenangan dan mendukung studi, orang yang nggak punya pendirian jelas, menikah juga nggak, studinya pun sekadar “simbolis”, orang yang menikah dengan alasan kewajiban dan syariat tanpa melihat efeknya dalam studi, dll. Ternyata kalau kita amati, banyak hal-hal yang membuat mata kita “terbelalak” ketika masuk pada tema nikah vs studi. Well, daripada muter-muter dan “ngalor-ngidul” izinkanlah aku cerita secara real apa yang dialami beberapa kenalanku yang sudah menikah (terlebih yang ada di Mesir). Btw…tarik napas dulu sambil sambil ucek-ucek mata dulu biar lebih fresh…heheh :D
            Pertama, aku punya kenalan (sebut saja namanya A). Kebetulan aku sempat mewawancarainya saat waktu itu mau buat proyek buku FLP (Forum Lingkar Pena) Mesir beberapa tahun lalu yang akhirnya terbengkelai tentang kehidupan berumah tanggan mahasiswa Indonesia di Mesir. Poinnya, A ini mengalami banyak kemajuan-kemajuan dalam masalah studi setelah menikah, begitu juga istrinya. Saya mencoba mencari benang merah, walaupun sekadar analisis pribadi. Menurutku, si A ini memang benar-benar sudah siap secara mental (dilihat juga dari umurnya), materi, dll, ketika mau menikah. Alhasil dia tak kaget dan mampu menjalani kehidupan rumah tangga yang baru dengan jiwa “manager” yang ok, baik studi ataupun keluarga. Adapun kendala, pasti ada walaupun sedikit (berdasarkan hasil wawancara). Nah, dari sini kita punya kesimpulan, terkadang menikah itu justru bisa mendukung studi. Kedua, mungkin ceritanya agak panjang. Aku punya kenalan dekat, sebut saja namanya B, dulu tinggal satu sakan (asrama). Aku cukup dekat dengan si B ini, bahkan sempat Tanya-tanya tentang kehidupannya sebelum dan sesudah menikah. Si B ini berasal dari Perancis (Kelahiran Perancis namun blasteran Tunisia dan Perancis). Ayahnya berdarah Tunisia dan Ibunya berdarah Perancis. Si B ini sama seperti mayoritas pelajar-pelajar yang datang ke Mesir dari daratan Eropa dan Rusia, kebanyakan belajar bahasa Arab dan dasar-dasar keislaman. Entahlah apa sebabnya, baru sekitar setahun atau lebih sedikit di Mesir, si B ini menikah dengan gadis Mesir dari Mansoura (nama salah satu propinsi di Mesir), padahal bahasa Arabnya pun belum lancar. Btw, waktu itu memang si B sudah mampu mencari nafkah dengan mengajar bahasa Perancis secara privat untuk anak-anak Mesir. Hasilnya pun lumayan. Namun, akhir-akhir ini pekerjaan itu sudah nggak dilakukannya lagi, justru dia berjualan minyak-minyak wangi, peci, siwak, dll, secara keliling yang tujuan utamanya kadang jama’ah di masjid-masjid. Belajarnya pun jadi agak terbengkelai, begitu juga tahfidz qur’annya. Duh, kasihan pikirku. Lebih aneh lagi, ketika aku Tanya, apakah dia mau kembali ke Perancis lagi nggak? Dia pun menjawab tidak. “Di Perancis banyak maksiat, sulit menjaga pandangan dari para wanita-wanita yang membiarkan auratnya terbuka bebas.” Kira-kira begitu jawabannya waktu itu. “Lhoh, bukannya ibumu masih ada di Perancis?” tanyaku. “Ya, namun aku tetap nggak mau kembali lagi ke Perancis, aku juga tak mau meminta dana apapun dari ibuku yang berbeda denganku (non muslimah). Aku ingin menunjukkan bahwa dengan keislamanku ini, aku mampu membiayai hidupku.” Itulah kira-kira jawabannya. Aku pun hanya merasa heran dengan si B yang ayahnya sudah bercerai dengan ibunya, dan dia kini tinggal di Tunisia. Si B kini tinggal di Zahro’, Madinah Nasr, Kairo. Semoga Allah memudah urusannya dan urusan kita semua. Amin.
Weheheheh maaf jadi kepanjangan ceritanya, intinya itu kisah nyata bahwa tekadang menikah justru mampu mengganggu studi. Btw, kalau memang kita sudah benar-benar memiliki persiapan yang matang dan pertimbangan-pertimbangan yang ok, insya Allah menikah justru akan mendukung studi. Tapi semuanya lagu-lagi kembali ke pribadi masing-masing. Nikah, Enggak, Nikah, Enggak, Nikah, Enggak, Enggak, Enggak, Nikah, Nikah, Nikah, Nikah, Enggak, Enggak tahu…… :D Ngeeekkk……
Dasar “Gado-gado Ramadhan!!!!”


Sakan Asdiqo’, 3/08/2012