Sabtu, 03 Desember 2011

Periwayatan al-Qur’an

Oleh: Irja Nasrullah

A. Pendahuluan.

Segala puji hanya milik Allah Swt., Sang Pemilik Nyawa. Salawat serta salam selalu terlimpahkan untuk Rasulullah Muhamad Saw., lelaki teragung yang telah menyatukan dunia dengan satu seruan, tauhid! Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk, untuk terus meneladani segala gerak-geriknya. Amin.
Keotentikan al-Qur’an akan selalu bersinar terang ke antero dunia, walaupun beberapa kalangan (baca:musuh-musuh Islam) dengan antusiasnya berusaha meredupkannya. Mereka menjalankan skenario bertahun-tahun, demi sebuah visi busuk, yang tidak lain untuk menodai kesucian al-Qur’an dan agama Islam itu sendiri. Kini, mereka telah terorganisir dengan sangat rapi, bergerak dengan sangat halus, sampai mampu menghipnotis sebagian umat muslim untuk ikut menyukseskan agenda berkedok mereka. Sebagian dari proyek mereka adalah memberhangus kaidah yang diterapkan generasi awal Islam dalam menjaga kemurnian al-Qur’an.
Pada kesempatan ini, kita masih tetap menggunakan referensi turats sebagai kompas yang mengarahkan kajian kita, serta beberapa referensi terkini, jika diperlukan. Dari turats inilah kita akan mengetahui, bagaimana pendahulu kita telah menerapkan metode ilmiah untuk menjaga kemurnian Islam. Pada kajian perdana ini, kita akan membahas tentang periwayatan al-Qur’an, termasuk para perawi dan huffadz, serta menyinggung permasalahan qira’ah yang penuh dengan polemik itu. Tema ini sekilas terlihat sederhana, namun ketika dipahami bahwa al-Qur’an menjadi dusturul Hayah manusia, maka ia akan menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.
Akhirnya, saya tutup mukadimah saya dengan tantangan abadi al-Qur’an, “Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."[2]

B. Perawi dan Para Huffadz al-Qur’an di Zaman Rasulullah Saw.
Allah Swt. telah memberikan jaminan akan keotentikan al-Qur’an[3] sampai hancurnya semesta ini. Sistem periwayatan atau kesaksian merupakan salah satu metode untuk menjaga keotentikan al-Qur’an. Ia adalah sebuah alternatif untuk menfilter yang benar dan yang salah,[4] berguna untuk memelihara keutuhan dari keterangan dan pemalsuan yang mungkin dilakukan oleh ilmuwan di masa depan. Ini merupakan metode unik, tak ada yang mampu menyaingi dalam sejarah literatur.[5]
Jika flash back kepada generasi awal, maka akan ditemukan bahwa al-Qur’an telah dijaga (baca: ditulis) pada pelepah kurma, lempengan batu, belulang, pelana onta, dan sebagainya. Saat itu juga al-Qur’an telah dihafal oleh para sahabat.[6] Sebuah hadis riwayat Bukhari[7]-Muslim[8] berbunyi,
روىالبخاري عن عبدالله بن عمرو بن العاص, قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: ((خذواالقرأن من أربعة : من عبدالله بن
مسعود,وسالم, ومعاذ , وأبى بن كعب))
“Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, dia berkata: saya mendengar Rasululah Saw. Bersabda, ambillah (bacaan) al-Qur’an dari empat orang, dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab.”
Dalam hadis di atas, dimaksudkan bahwa empat sahabat tersebut memang dhobit dan mutqin di dalam lafaz al-Qur’an, walaupun selain dari mereka masih ada sahabat yang lebih mahir dari segi maknanya.[9] Salim wafat ketika terjadi perang yamamah, Mu’adz wafat saat kekhalifahan Umar, Ubay dan Ibnu Mas’ud wafat ketika kekhalifahan Usman radhiallahu ‘anhum.[10]
Masih ada hadis yang lain yang berhubungan dengan tema di atas. Hadis ini diriwayatkan Bukhari dari jalur yang kuat,
عن أنس,قال: مات النبي صلى الله عليه وسلم,ولم يجمع القرأن غير أربعة: أبو الدرداء,ومعاذ بن جبل,وزيد بن ثا بت, وأبو زيد
“Dari Anas, dia berkata: (Ketika) Rasulullah Saw. wafat, dan tidak (ada yang) mengumpulkan al-Qur’an kecuali empat orang: Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid.”
Pengecualian kepada empat orang di atas, telah membuat gerah beberapa ulama, bahkan mengingkarinya. Misalnya, imam Qurtubi mengatakan bahwa pengkhususan Anas kepada empat orang tersebut merupakan imbas dari kedekatan Anas yang teramat sangat dengan mereka, bukan yang lainnya, atau karena merekalah sajalah yang berada di benak anas, bukan yang lainnya. Begitu juga dengan al-Qodhi al-Baqilani yang menjawab hadis Anas dengan delapan cara, [11] serta beberapa ulama lainnya.[12]
Sebagai data konkret, di bawah ini saya sertakan tabel para perawi dan huffadz di zaman Rasulullah Saw.
Nama-nama Huffadz Dari Golongan Muhajirin dan Anshar[13]
Muhajirin
Anshar
1. Abu Bakar
12. Ibnu Abbas
1. Zaid bin Tsabit
2. Umar
13. Amru bin ‘Ash
2. Mu’adz bin Jabal
3. Usman
14. Abdullah bin Amru bin Ash
3. Ubay bin Ka’ab
4. Ali
15. Mu’awiyah
4. Abu Darda’
5. Talhah
16. Ibnu Zubair
5. Anas bin Malik
6. Sa’ad
17. Abdullah bin Saib
6. Abu Zaid Al-Ansary
7. Ibnu Mas’ud
18. ‘Aisyah
7. Mujamma’ bin Harisah
8. Hudzaifah
19. Hafshah
Sumber: Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, hal. 81-82
9. Salim Maula Abi Hudzaifah
20. Ummu Salamah[14]
10. Abu Hurairah
21. Ummu Waraqah
11. Ibnu Umar
C. Para Perawi al-Qur’an Yang Tujuh.
Periwayatan al-Qur’an sejak zaman Rasulullah Saw. sampai generasi era ini, terus berlangsung dan akan eksis sampai hari akhir, biidznillah. Inilah metode unik yang melibatkan para saksi-saksi al-Qur’an. Hari ini pun telah sampai kepada kita sebuah istilah ‘Qiro’ah Sab’ah.’ Sab’ah’ atau tujuh di sini sebenarnya disandarkan pada para imam yang tujuh.[15] Abu Bakar bin Mujahid merupakan orang pertama kali yang telah meringkas[16] para qurro’ menjadi tujuh ini.[17] Jadi, apakah penentuan tujuh orang ini, merupakan subjektifitas Abu Bakar bin Mujahid semata? Jawabannya, bahwa hal tersebut bukanlah subjektifitas Abu Bakar bin Mujahid semata, karena pembatasan pada tujuh orang itu, sebenarnya telah menjadi ijma’ pada waktu itu.[18] Tujuh imam itu adalah bagian dari mata rantai yang telah diawali oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum[19] dalam periwayatan al-Qur’an. Dengan tanpa rasa sangsi, kita menerima qiro’ah dari tujuh imam, yang telah disepakati secara ijma’ itu.[20] Jika kita kritisi lebih jauh, maka qiro’ah sab’ah bukanlah ahrufus sab’ah[21] seperti anggapan sebagian orang, namun qiro’ah sab’ah itu hanyalah bagian dari ahrufus sab’ah.[22]
Riwayat yang paling populer dari setiap jalur yang berjumlah tujuh ini adalah periwatannya dua perawi, misal: Dari jalur imam Nafi’, yang paling masyhur yaitu Qolun dan Warasy, dst.[23]
Marilah kita lihat tabel qurro’ sab’ah dengan dua perawi-nya yang terpopuler di bawah ini!
Nama-nama Qurra’ Sab’ah Serta Dua Perawi-nya Yang Populer[24]
اسماء القراء السبعة ورواتهم و بلادهم وميلادهم ووفاتهم
وفاتهم
ميلادهم
رواتهم
وفاتهم
ميلادهم
رواتهم
وفاتهم
ميلادهم
بلادهم
القراء السبعة
النمرة
197
110
ورش
250
120
قالون
169
-
المدينة
نافع
1
391
195
قنبل
250
170
البزي
120
45
مكة
ابن كثير
2
261
-
السوسي
246
-
الدّورثي
145
68
البصرة
أبوعمرو
3
242
173
ابن ذكوان
254
150
هشام
118
31
الشام
ابن عامر
4
180
90
حفص
193
95
شعبة
127
-
الكوفة
عاصم
5
220
-
خلاد
229
150
خلف
154
80
الكوفة
حمزة
6
-
-
الدّوري
240
-
ابوالحارث
189
-
الكوفة
كسائي
7
D. Contoh Kontroversi Dalam Qiro’ah Sab’ah.
Mengenai qiro’ah sab’ah, ada beberapa ulama yang bersikap ekstrim, dan mengkufurkan perkataan orang yang tidak menerima qiro’ah sab’ah sebagai qiro’ah mutawatiroh. Salah satu contohnya, mufti Andalusia (sekarang Spanyol), Ust. Abu Sa’id Faraj bin Labbi yang mengarang banyak kitab dalam mendukung madzhabnya serta men-counter orang-orang yang menentang pendapatnya. Beliau beralasan, bahwa orang yang mengatakan qiro’ah sab’ah itu tidak mutawitiroh berarti sama saja mengatakan al-Qur’an tidak mutawatir. Menurut Syaikh Zarqani, alasan seperti itu tidak bisa diterima. al-Qur’an dan qiro’ah merupakan dua sisi yang berbeda. al-Qur’an tetap mutawatir secara independen, walaupun tanpa qiro’ah sab’ah. al-Qur’an diterima dikalangan para qurro’ tanpa ada kontradiksi sedikit pun, serta diterima secara mutawatir oleh semua kalangan, baik mereka yang menyandang label qurro’ atau tidak. Adapun qiro’ah, di dalamnya tetap ada ikhtilaf di antara para qurro’ dalam setiap thobaqoh-nya.[25]
Kontroversi di kalangan ulama seputar qiro’ah begitu pelik. Selain contoh permasalahan tadi, masih ada permasalahan lain yang perlu dikuak lebih lanjut. Ibnu Hajib, berpendapat lain mengenai qiro’ah sab’ah. Kata beliau, bahwa qiro’ah sab’ah memang mutawatiroh, kecuali praktiknya, seperti mad, imalah, takhfif hamzah. Jadi, ada pengurangan dan penambahan dalam mad, karena terkadang tidak pas dalam sima’i, bahkan itu menjadi hal yang ijtihady. Terus bagaimana, mutawatiroh tapi kok di sana ada ruang ijtihad?[26]
Pendapat Ibnu Hajib telah di-counter panjang-lebar oleh pemilik matan jazariyah, Ibnu Jazary.[27] Jawaban beliau, seperti mengenai penambahan atau pengurangan mad, berhubungan erat dengan ilmu tajwid. Bagaimanapun, akan saya coba sajikan pendapat beliau secara singkat, insyaAllah.
Adapun seperti mad, kita tahu ada mad thobi’i (الطبيعي) dan mad ‘arodhi (العرضي). Mad thobi’i(asli): mad yang setelahnya bukan hamzah atau sukun dan tidak bisa terpisah dari huruf mad yang tiga.[28] Mad ini sudah paten, panjangnya dua harakat. Mad ‘aradhy: ada tambahan (lebih dari dua harakat) karena sukun atau hamzah.
‘Aradhyàsukun : sukun dan tasydid, pembukaan surat (الم, ق, ن,ولاالضالين)
àhamzah : (a).wajib muttashil (setelah mad hamzah-dalam 1 kalimat)àpaten,
Panjangnya kira-kira 5 harakat.
(b).Jaiz Munfasil (setelah mad hamzah-beda kalimat)àboleh qasr.
Panjangnya kira-kira 5 harakat, tapi boleh pendek 2 harakat.[29]
Menurut imam Ibnu Jazary, panjang semua mad di atas mutawatir sesuai kesepakatan ulama, namun Al-‘Iraqy[30] satu-satunya ulama yang menyelisihi kesepakatan tersebut. Kata Al-‘Iraqy, bahwa mad dalam satu kalimat sama dengan mad-nya dua kalimat (yang berbeda). Kesalahan ‘Iraqy pun telah diketahui syuyukh-nya,[31] dan secara historis, tak ada jalur yang meriwayatkan darinya sama sekali. Jadi, Pendapat Ibnu Hajib menyelisihi ijma’ ulama dan masuk keranjang sampah sejarah. (sampai di sini akhir pendapat Ibnu Jazary)
Az-Zarqani memberi komentar: “Untuk mad ‘ardhy, kesepakatan (para imam) dalam panjangnya mad itu memang mutawatir. Tapi tambahan dari setiap imam, seperti ‘Ashim, Hamzah, Warasy,[32] jika tidak mutawatir, maka itu sah-sah saja (tapi menjadi pembahasan yang rumit) dan bisa diterima. Siapa yang menganggap bahwa tambahan (dari masing-masing imam) itu mutawatir, maka jelaskanlah!”
Adapun mengenai imalah dan takhfif, Hadzli (jika tidak salah menerjemahkan dari arabnya: الهذلي ) mengatakan bahwa imalah dan takhfif diterima secara ijma’. [33]
E. Kualitas Sanad al-Qur’an.[34]
Sistem sanad al-Qur’an menyerupai sanad hadis. Seperti ketentuan para ulama hadis, kualitas sanad al-Qur’an ditentukan oleh beberapa hal di bawah ini:
Ø Kedekatan dengan Rasulullah Saw. dari segi jumlah sanad yang sahih, bebas dari yang dho’if atau bisa dikatakan, hampir semua sanadnya sahih. Ini merupakan top record, kualitas klimaks dari semua kualitas yang ada. Pada saat ini, sanad yang tertinggi itu dipegang oleh empat belas orang, dari qiro’ah-nya Ibnu ‘Amr dari riwayat Ibnu Dzakwan. Kemudian lima belas lagi, dari qiro’ah-nya ‘Ashim dari riwayat hafs, serta qiro’ah Ya’qub dari riwayat Ruwais.
Ø Kedekatan dengan para imam hadis, seperti ‘Amasy, Husyaim, Ibnu Juraih, Auza’i, dan imam Malik. Jika kita terapkan pada imam qiro’ah yang tujuh, maka kualitas tertinggi ada pada syuyukh dua belas yang sanadnya bersambung dengan imam Nafi’, serta dua belas lagi bersambung dengan imam ‘Amir.
Ø Tingginya kualitas sanad, didasarkan pada riwayat salah satu kutubussittah.[35] Jika periwayatan melalui salah satu jalur kutubussittah, maka sanadnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang lainnya. Jika kita terapkan pada kitab-kitab qiro’ah yang masyhur, maka contohnya seperti kitab taisir dan syathibiyyah. Beberapa kitab yang masuk kriteria ini, yaitu: muwafaqat, abdal, musawah, musafahat.
Ø Syaikh wafat lebih dulu daripada qarinah-nya, yang pernah mengambil dari syaikhnya. Contoh: A (Syaikh), B (Murid ), C (qarinah B).
Penjelasan: (A), (B), dan (C), hidup semasa. (B) bisa mengambil dari (A). Akan tetapi (C) tidak bisa mengambil dari (A), karena (A) kemudian wafat. Akhirnya, (C) melalui perantara (B) dalam mengambil hadisnya (A). Jadi, (B) inilah pemilik sanad yang kualitasnya lebih tinggi.
Ø Sanad yang berkualitas tinggi, didasarkan pada wafatnya syaikh, bukan hal lain yang memalingkannya.[36] Ini menyerupai poin sebelumnya, hanya saja di sini dijelaskan standar tingginya sanad hanya didasarkan pada wafatnya syaikh. Contoh: Ahmad tiba-tiba meriwayatkan sebuah hadis dari syaikh yang sudah meninggal setelah lima puluh tahun.[37] Dalam rentang waktu lima puluh tahun itu tak ada satu pun yang meriwayatkan hadis dari syaikh itu, kecuali Ahmad. Jadi Ahmad pemilik sanad yang tinggi (sanad ‘aali)
F. Catatan Pojok.[38]
Berbagai sanjungan, juga tuduhan destruktif terhadap Islam, terus mengalir tanpa henti. Tak pernah ada riset ilmiah yang mengkurvakan perbandingan keduanya. al-Qur’an yang suci menjadi public figure sekaligus tersangka daripada praduga tak bersalah. Public figure, karena ia menjadi imam hidup setiap pencari kebenaran. Dikatakan tersangka, karena ia telah dicam dengan berbagai label yang menjijikkan. Satu contoh saja, beberapa sarjana barat mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan hasil plagiat Muhamad Saw. terhadap Perjanjian Baru. Namun, semua itu tak berdasar pada bukti ilmiah yang meyakinkan. Memang mereka mencoba menyuguhkan berbagai interpretasi mereka dengan data historis, namun tak ada sanad atau riwayat satu pun yang menunjukkan bahwa Muhamad Saw. talaqqi kepada orang-orang Kristen. Kalaupun ada yang mengatakan, “Bisa saja Muhamad Saw. mempelajari Kitab Perjanjian Baru tanpa harus melalui talaqqi dan sistem periwayatan. Dengan jalan itulah plagiat kitab akan terjadi!” maka akan kita jawab sesuai pendapat Ahmed Deedat, yang mengatakan bahwa tak ada Injil atau Perjanjian Baru yang berbahasa Arab pada abad 6 M, ketika nabi Muhamad Saw. didiktekan al-Qur’an.”[39] Bagaimana Muhamad Saw. bisa mempelajari kitab itu, kalau tanpa talaqqi?
Saatnya kita untuk deep of thinking, akan nikmat yang terhingga dari Allah Swt. yang telah menciptakan sebuah sistem yang teramat dahsyat dalam penjagaan kemurnian al-Qur’an serta Islam itu sendiri. Itulah sistem riwayat yang tak dipunyai oleh siapapun kecuali agama Islam. Oleh karena itu, sistem inilah yang mencoba dikaburkan oleh sarjana-sarjana barat pada umumnya, sebagai jalan untuk menghancurkan al-Qur’an secara khusus, serta Islam pada umumnya .
Namun, al-Qur’an akan terus terlihat kebenarannya, seperti apa yang telah difirmankan Allah Swt. berikut ini:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu arlalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushilat 53)
Juga kerja keras para sarjana barat selama bertahun-tahun dalam mencari perbedaan atau kesalahan manuskrip al-Qur’an, tak lebihnya buih yang terseret ombak lautan, kemudian musnah begitu saja. Kerja keras mereka sia-sia. Hal ini telah disinggung dalam sebuah buku mini yang saya dapatkan secara cuma-cuma dengan judul “The True Message of Jesus Christ.” Di sana dikatakan:
“…The “institute fur koranforscung” of the university of Munich, Germany, collected and collected over 42.000 complete or incomplete copies of the Qur’aan. After some fifty years of study, the reported that in terms of differences between the various copies, there were no variants, except occasional mistakes of copyists, which could easily be ascertained. The institute was destroyed by American bombs during the second World War.[40]
G. Data-data.
a). Keterangan untuk footnote no. 19 (Para Qurro’ Yang Populer)
Para Sahabat[41]
Tabi’in[42]
Madinah
Makkah
Kufah
Bashrah
Syam
1. Usman
2. Ali
3. Ubay bin
Ka’ab
4. Zaid bin
Tsabit
5. Ibnu Mas’ud
6. Abu Darda’
7. Abu Musa
Al-Asy’ari
1. Ibnu
Musayyab
2. ‘Urwah
3. Salim
4. Umar bin
Abdul Aziz
5. Sulaiman
‘Ato Ibnu
Yasar
6. Mu’adz
Al-Qori’
1. Ubaid bin
‘Umair
2. ‘Atho bin
Abi Robah
3. Thowus
4. Mujahid
5.’Ikrimah
6. Ibnu Abi
Mulikah
1.Alqomah
2.Aswad
3.Masruq
4.Ubaidah
5.Amru bin
Syarhabil
6. Al-Haris Ibnu Qais
7. Ar-Robi’ bin Khutsaim
1. Abul ‘Aliyah
2. Abu Roja’
3. Nasr bin
‘Ashim
4. Yahya bin
Ya’mar
5. Hasan
6. Ibnu Sirin
7. Qatadah
1. Mughirah bin Abi Syihab
Al-Makhzum(Sahibu Usman)
2. Khalifah bin
Sa’ad (sahibu
Abu Darda’)
Tambahan data sebelumnya:
Tabi’in
Madinah
Kufah
7. Abdurrahm Bin Hurmuzil ‘Araj
8. Ibnu Syihab Az-Zuhri
9. Muslim bin Jundab
10. Zaid bin Aslam
8. . ‘Amru bin Maimun
9. Abu Abdur Rahman Assulami
10. Zar bin Hubaisy
11. ’Abid bin Nudhailah
12. Sa’id bin Jubair
13. Nakh’i
14. Sya’bi
b). Nama-nama Qurro’ yang tiga yang menjadi tambahan qiro’ah sab’ah yang formasi keduanya dinamakan qiro’ah ‘asyroh.
اسماء القراءالثلاثةالمتمّمةللعشرةورواتهم
ابن جمّال
ابن وردان
ابوجعفر
1
روّح
رويس
يعقوب
2
ادريس
اسحاق
خلف
3
H. Penutup.
Alhamdulillah, kita sampai di penghujung pembahasan. Pembahasan yang masuk dalam pembahasan ulumul qur’an ini, sangat erat hubungannya dengan praktik para mufassir dalam manhaj penafsiran mereka. Ambil contoh imam Thabari, metode beliau adalah mentarjih qiro’at ketika menafsirkan al-Qur’an, serta beberapa mufassir lainnya.[43]
Sekian yang bisa saya bagikan pada kesempatan kali ini. InsyaAllah pada kesempatan berikutnya, kita akan kembali berbagi, sharing, mengenai seluk beluk ‘ulumul qur’an dan penafsiran.
Jazakumullahu khoiro, saya ucapkan kepada rekan-rekan semua yang memberikan waktunya untuk berkumpul dan mengkaji ilmu Allah Swt. yang sangat mulia ini. Juga khususnya sahibul bait yang telah menyediakan tempat untuk kajian ini. Semoga tempat ini menjadi lebih berkah! Amin.
Terima kasih. Mohon maaf atas segala kekurangan. Kritik dan saran yang kontruktif, selalu saya harapkan. Wasallahu ‘ala muhammadin wa ‘alaa aalihi wasahbihi ajma’iin. Allahu ‘ala wa ‘alamu bisshawab.
ba
I. Referensi
1. Abu ‘Imarah, Dr.Mustofa Muhamad, Ruwatul Hadith Wa Thabaqaatuhum, Maktabah Al-Iman, Kairo, cet. I, 2007.
2. Al-A’zami, Prof. Dr. M. M., Sejarah al-Qur’an dari wahyu sampai kompilasi, Gema Insani, Jakarta, cet.I, 2005.
3. Al Makky, Syaikh M. Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdy, Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, ditahkik oleh Ust. Dr. Ahmad Isa Al-Mi’sarawy, Adhwaussalaf, Riyad, cet. I, 2008.
4. Baqi, M. Fuad Abdul, Al-lu’lu’u wal Marjan, Darul Hadits, Kairo, 2007.
5. Nawawi, Imam, Syarhu Sohih Muslim, ditahkik oleh Muhamad Abdul ‘Adzim, vol. 15, Darut Taqwa, Kairo.
6. Suyuti, Imam, Al-Itqan, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Darul Hadits, Cairo, 2004.
7. Al-Ak, As-Syaikh Kholid Abdurrahaman, Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, Darun Nafais, Lebanon, cet. V, 2007.
8. Al-Jarullah, Dr. Abdussalam bin Soleh bin sulaiman, Naqd Assohabah wattabi’iin littafsir, Dar At-Tadmuriyyah, Riyad, cet. I, 2008.
9. Soleh, KH.M. Qomari, Ilmu tajwid, Ponpes Nurul Qur’an, Jombang, cet. I.
10.Az-Zarqani, As-Syaikh M.Abdul Adzim, Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Qur’an,Darul Hadits, Kairo, 2001.
11. Diyab, Dr. Thariq Muhamad Abdu Al-Lahu, Al-Muqaddimah Fima ‘Ala Qari’il Qur’an Ayyu’allimahu, Kuliah Ushuluddin, Kairo, 2010.
12. Deedat, Ahmed, The Choice, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet. XIII, 2005.
13. Philips, Dr. Bilal (st.David’s College, University of Wales, U.K.), The True Message of Jesus Christ.


[1] Penikmat tafsir dan ‘Ulumul Qur’an, Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo.
[2] Q. S. Al-Isra: 88.
[3] Q..S. Al-Hijr: 9
[4] Dr.Mustofa Muhamad Abu ‘Imarah, Ruwatul Hadith Wa Thabaqaatuhum, Maktabah Al-Iman, Kairo, cet. I, 2007, hal. 6
[5] Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, Sejarah al-Qur’an dari wahyu sampai kompilasi, Gema Insani, Jakarta, cet.I, 2005, hal. 197
[6] Syaikh M. Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdy Al Makky, Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, ditahkik oleh Ust. Dr. Ahmad Isa Al-Mi’sarawy, Adhwaussalaf, Riyad, cet. I, 2008, hal. 39
[7] M. Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’u wal Marjan, Darul Hadits, Kairo, 2007, hal. 542-543
[8] Imam Nawawi, Syarhu Sohih Muslim, ditahkik oleh Muhamad Abdul ‘Adzim, vol. 15, Darut Taqwa, Kairo, hal. 2933
[9] M. Fuad Abdul baqi, op. cit., hal. 542
[10] Imam Suyuti, Al-Itqan, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Darul Hadits, Cairo, 2004, hal. 219
[11] Ibid., hal. 220
[12] Untuk lebih detailnya, silahkan merujuk ke Al-Itqan, nau’ ke 20 dari hal. 220-223.
[13] Syaikh M. Thahir bin Abdul Qadir Al-Kurdy Al Makky, op. cit., hal. 81-82
[14] Istri Nabi Saw., namanya Hindun menurut pendapat yang paling benar (Footnote Tarikh al-Qur’an wa Gharaibu Rasmihi wa hukmihi, hal.82)
[15] Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, Kasai.
[16] Dilihat dari segi tadwin qiro’ah, beliaulah orang pertama kali yang menentukan qurro’ menjadi tujuh.
[17] As-Syaikh Kholid Abdurrahaman Al-Ak, Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, Darun Nafais, Lebanon, cet. V, 2007, hal. 441
[18] Ibid., hal. 440
[19] Silahkan buka hal. 8 untuk melihat lebih jauh para perawi dan qurro’ pada masa sahabat dan tabi’in.
[20] Dr. Abdussalam bin Soleh bin sulaiman Al-Jarullah, Naqd Assohabah wattabi’iin littafsir, Dar At-Tadmuriyyah, Riyad, cet. I, 2008, hal. 452
[21] Permasalahan ahrufus sab’ah telah dibahas dalam kajian sebelumnya.
[22] As-Syaikh Kholid Abdurrahaman Al-Ak, op. cit., hal. 425
[23] Imam Suyuti, op. cit., hal. 226
[24] KH.M. Qomari Soleh, Ilmu tajwid, Ponpes Nurul Qur’an, Jombang, cet. I, hal. 9
[25] As-Syaikh M.Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Qur’an,Darul Hadits, Kairo, 2001, hal. 361
[26] Ibid., hal. 362
[27] Beliau juga yang telah menambahkan qiro’ah mutawatiroh menjadi sepuluh. Tambahan tiga imam yang ditambahkan yaitu Abu Ja’far, Ya’qub, Kholaf.
[28] Dr. Thariq Muhamad Abdu Al-Lahu Diyab, Al-Muqaddimah Fima ‘Ala Qari’il Qur’an Ayyu’allimahu, Kuliah Ushuluddin, Kairo, 2010, hal. 107
[29] KH.M. Qomari Soleh, op.cit., hal. 30
[30] Mansur bin Muhamad Al-Muqri’
[31] Imam Abu Bakr bin Mahran, Abul Farj Syanbudzi, Ibrahim bin Muhamad Al-Marwazy.
[32] Seperti imam Warsy, Hamzah, Ibnu ‘Amr, Kisai, Ashim, juga Hafs semua sepakat bahwa mad jaiz munfasil wajib panjang (tidak boleh di-qasr). Kesepakatan hanya pada wajib panjangnya saja , adapun kadarnya berbeda-beda. Di sisi lain, ada para imam yang mewajibkan qasr saja.
[33] As-Syaikh M.Abdul Adzim Az-Zarqani, op. cit., hal. 367-368
[34] Imam Suyuti, op. cit.,hal. 227
[35] Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.
[36] Hal lain, seperti tidak bisa ketemu karena jauh, dll
[37] Beberapa ulama hadis memang ada yang mensyaratkan , jangka waktu kematian syaikh itu ketika setelah 50 tahun, maka bisa dikatakan sanad yang tinggi.
[38] Tambahan dari pemakalah
[39] Ahmed Deedat, The Choice, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet. XIII, 2005, hal. 210
[40] Dr. Bilal Philips (st.David’s College, University of Wales, U.K.), The True Message of Jesus Christ, hal. 29
[41] As-Syaikh M.Abdul Adzim Az-Zarqani, op. cit., hal. 345
[42] Imam Suyuti, op. cit., hal. 224
[43] Dr. Abdussalam bin Soleh bin sulaiman Al-Jarullah, op. cit., hal. 451