Gambar: dreamstime.com |
Oleh: Irja Nasrullah
Al
Qur'an merupakan pedoman penting bagi umat Islam yang tak diragukan
lagi keotentikannya, seprti firman Allah, "Dan tidak mungkin Al Qur'an
ini dibuat-buat oleh selain Allah." [Q.S. Yunus: 37].
Al
Qur'an-lah yang mengungkap rahasia-rahasia keagungan Islam. Di antara
rahasia keagungan itu adalah mendorong umat muslim untuk berpikir dan
menggunakan akal.
Prof. Jum'ah Ali, di dalam kitabnya (Jalal al-Fikr,
2007), menyatakan ada 35 ayat Al Qur'an yang menyeru manusia untuk
memikirkan apa yang dilihat; lebih dari 50 ayat menyuruh manusia untuk
memerhatikan dan bertamasya di muka bumi, memikirkan keagungan
ciptaan-Nya; serta 160 ayat berkaitan dengan masalah ilmu dan dorongan
mempelajarinya.
Jika
kita meneliti lebih jauh, tentang ayat-ayat yang di sampaikan oleh Guru
Besar Al Qur'an dan Tafsir di Universitas Al Azhar Kairo tersebut, maka
kita akan bertemu dengan ayat-ayat yang membicarakan alam semesta.
Allah menginginkan hamba-hamba-Nya untuk memahami eksistensi-Nya melalui
grand design (desain agung) ciptaan-ciptaan-Nya.
Allah
Swt berfirman, "Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan
bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya
bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya."
[Q.S. An-Nur: 43]. Ayat tersebut salah satu bukti kongkret bahwa alam
seisinya diciptakan sedemikian rupa, agar manusia berpikir dan
merenungkannya.
Sungguh
merugi orang yang membaca Al Qur'an, tetapi tidak mentadaburi
ayat-ayat-Nya. Memang benar, bahwa membaca Al Qur'an tanpa
mentadaburinya pun sudah dianggap ibadah. Namun, bukankan kita tahu
bahwa Al Qur'an diturunkan kepada manusia agar menjadi petunjuk hidup?
Bagaimana mungkin bisa menerima petunjuk Al Qur'an tanpa mentadaburi
maknanya? Mustahil, kelihatannya.
Kebanyakan
umat muslim saat ini, terkekang dalam tradisi ritual ibadah dan terlena
untuk menyerap esensinya. Contoh sederhana, ya tentang membaca Al
Qur'an tanpa memahami maknanya tadi. Semua kegiatan ritual yang
bersumber dari Rasulullah Saw adalah baik, tetapi akan lebih baik dan
sempurna jika dibarengi dengan pemahaman nilai-nilai yang terkandung
dalam ritualitas itu sendiri.
Permasalahan
yang lebih runyam yang melanda sebagian kaum muslimin saat ini adalah
menyempitkan makna ibadah tersebut. Ibadah dianggap hanya terbatas pada
kegiatan-kegiatan ritual di dalam masjid, puasa, haji, memutar biji
tasbih, dan sejenisnya. Ritual-ritual tersebut dinamakan ibadah mahdhah
(langsung). Pemahaman bahwa ibadah terbatas pada hal-hal tersebut,
sangatlah fatal.
Ibadah
sangat luas cakupannya. Segala sesuatu yang dilakukan karena Allah dan
tidak keluar dari kanun yang ditetapkan-Nya adalah ibadah. Mempelajari
sains, berdagang, menjahit, bertani, dan lainnya adalah ibadah.
Ibadah-ibadah ini dinamakan ibadah ghairu mahdhah (tidak langsung). Pada
hakikatnya, kedua jenis ibadah ini tak bisa dipisahkan.
Seseorang
yang mau melaksanakan shalat, harus menutupi auratnya dengan pakaian.
Sedangkan pakaian sendiri dihasilkan oleh orang yang berprofesi sebagai
penjahit. Kesimpulannya, orang tidak akan bisa shalat tanpa adanya
penjahit. Berikut juga orang-orang mau haji; mereka tidak bisa naik haji
tanpa adanya pesawat. Jadi, menjahit dan membuat pesawat adalah ibadah.
Islam
menerapkan sistem keseimbangan dunia-akhirat. Sebuah ayat Al Qur'an
menunjukkan hal itu. Allah berfirman, "Apabila shalat telah
dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah."
[Q.S. Al Jumu'ah: 10]. Menurut Syaikh As Sa'dy (Taisir al Karim ar Rahman, 2010), maksud "bertebaranlah kamu di bumi" yaitu seruan kepada manusia untuk mencari nafkah dan berdagang.
Muhammad Asad (Islam di Simpang Jalan,
1981), menerangkan bahwa Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula
falsafah. Islam adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang
telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil capaiannya yang
paling tinggi ialah koordinasi yang sempurna daripada aspek-aspek
spiritual dan material kehidupan insani.
Jadi,
kalau selama ini ada oknum yang menyatakan bahwa Islam merupakan sumber
keterpurukan umat, anggapan itu hanyalah anggapan ngawur yang tak bisa
dibuktikan. Oknum yang juga berargumen bahwa untuk mencapai sebuah
kemajuan, maka manusia harus keluar dari aturan-aturan agama tersebut
kurang memahami konsep Islam yang sebenarnya.
Keterpurukan
umat Islam saat ini tidak bersumber dari Islam tetapi bersumber dari
"keterpurukan pribadi" umat muslim sendiri. Seandainya mereka memahami
Islam dengan sebenar-benarnya serta mampu mengejawantahkan dalam
kehidupan sehari-hari, niscaya keterpurukan itu tak akan pernah terjadi.
Jadi, umat Islam (termasuk kita), perlu memahami lebih jauh lagi
tentang Islam.
Bagaimana
cara simpel dan efektif untuk mengenal lebih jauh tentang Islam?
Jawabannya adalah dengan mentadaburi dan menyerap hal-hal yang
terkandung dalam Al Qur'an, bukan sekadar membacanya. Seperti telah
disinggung di atas, Al Qur'an sendiri merupakan pedoman inti dalam
Islam. Maka, kembalilah ke intinya, berikut juga hadits yang kelak akan
menyempurnakan dalam memahaminya.