Sungguh
aku masih muak dengan diriku sendiri! Kenapa harus kulalui jalan panjang yang bercecabang
itu?! Aku muak dengan trinitania! Organisasi misionaris mahasiswa terselubung itu,
sebab daripada perkenalanku dengan Julia. Organisasi itu pulalah yang telah
menyebabkanku merana! Konyol!
Kuterduduk
di kursi balkon. Sarung kotak-kotak Gajah Duduk masih menutupi rahasiaku.
Sesekali angin sore membelai-belai sarungku, membuat dalamku terasa sejuk.
Kubiarkan badanku yang hanya dibalut singlet, menghadap matahari tenggelam. Kubuka
injil lusuh yang kubawa dari Indonesia
dulu, terbitan lembaga Alkitab Indonesia .
Ada bagian yang kutandai di sana , di mana sebuah ayat di Injil Roma 5:
12, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang
(Adam), dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada
semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Kupijit-pijit kepalaku
yang agak nyut-nyutan oleh memori kelam beberapa tahun lalu. Ayat tersebut
melemparkanku pada sebuah bencana hidup yang kini masih terus merongrong palung
hati. Aku harus berpisah dengan Julia, mahkota dunia. Dasar ayat pembawa
petaka!
Aku memang
sangat menentang Roma 5: 12 itu. Semua orang yang punya otak pasti akan menolak
dosa warisan. Mbok ya mikir, apakah layak seorang bayi mungil yang baru
saja keluar dari rahim sang bunda, tiba-tiba harus memikul dosa?! Kata mereka
sih dosa warisan. Memang, aku tahu bahwa semua itu masalah keimanan. Namun,
keimanan tanpa didasari ilmu, bagiku tak lebih dari sebuah kepalsuan.
Aku masih
memerhatikan kata-kata yang dikuduskan dalam injil itu, sambil sesekali meneguk
kopi susu hangat di sampingku. Pemandangan matahari tenggelam di batas padang pasir tampak amat
cantik. Namun kecantikan itu, masih kalah dengan kecantikan Julia Maheswara. Kuakui
dia memang sangat cantik, lagi anggun. Walaupun sejak beberapa tahun lalu aku
telah berpisah dengannya, namun masih
kurasakan hembusan ucapan-ucapan manis yang pernah dia ucapkan untukku. Ya,
kata-kata yang manislah yang mendengung di kupingku. Adapun kata-kata busuk
yang pernah dia ucapakan untukku, tak lebih dari angin lalu.
Aku mengenal
Julia, sejak dia masuk jadi anggota baru trinitania. Semangatnya luar biasa
untuk menghidupkan kembali jiwa kekristenan di tubuh para mahasiswa. Dia rela
mengucurkan dana yang dia pinta dari ayahnya, demi sebuah misi suci. Dialah
orang terdekatku selama itu, dalam penyebaran misi Kristen. Dialah belahan jiwaku.
Namun, alam tiba-tiba berubah. Burung-burung yang tadinya bercicitan tak lagi
bernyanyi. Rumput-rumput hijau yang bergoyang tiba-tiba terhenti. Musibah
datang di sela-sela diskusi kami tentang teologi Kristen. Entah wahyu dari
mana, sehingga aku menggugat habis-habisan tentang dosa warisan di Roma 5: 12.
Aku juga mendapat pembelaan dari Yehezkiel 18: 20, “Orang yang berbuat dosa,
itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan
ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima
berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.”
Beberapa bulan
lamanya, tak ada salam sapa di antara aku dan Julia. Selama itu pula trinitania
vakum dan menjadi bulan-bulanan. Penerbitan majalah dan seminar-seminar
kekristenan sampai pada ajalnya. Kalau mau jujur, sebenarnya aku tak pernah
ingin menyakiti agamaku, juga agama-agama lainnya. Hanya saja otak dan mulutku
tak mampu lagi dikekang, manakala logikaku dibungkam.
Olok-olokan
datang dari mana-mana, saat diriku resmi keluar dari trinitania. Cibiran keluarga
dan hinaan tetangga kuterima, saat aku melarikan diri dari agamaku. Aku murtad!
Sepertinya singkat dan gara-gara satu ayat aku menjadi murtad. Namun, bukan
itu. Diam-diam aku menyimpan keragu-raguan sejak dulu, lama sekali, manakala kubaca
sebuah buku perbandingan agama milik ayahku. Seingatku, waktu lulus SD dulu.
“Sinting!
Sinting! Kok bisa ya, hal itu terjadi?!”
Omelku.
“Ada apa to?
Siapa yang sinting? Kau lagi sinting, ya?” Jhon muncul dari dalam mendekatiku.
Nama aslinya Jhono.
“Mungkin
gitu?” kataku asal aja.
“Aku baru saja lihat foto seorang cewek misionaris
beken itu?!
“Facebook?”
“Yo,
kalau dilihat statusnya kayaknya dia mau nikah. Padahal aku lagi jatuh cinta
pada fotonya,” katanya sambil mengikat rambutnya yang panjang.
“Emangnya
kau mau, andai nikah sama dia?”
“Yo
mesti nggak…nggak nolak maksudnya,” katanya cengar-cengir.
“Nikah
lintas agama, mau?”
“Zaman
modern kayak gini, kok masih mempermasalahkan perbedaan agama. Bahlul!” cibirnya
sambil kembali masuk begitu saja.
Kopi
susu di sampingku sudah sampai pada tetes terakhir. Dingin mulai menembus
pori-pori singlet di tubuhku. Entahlah, pantatku masih asyik menempel di kursi.
Kututup injil. Kuterhanyut pada masa lalu lagi. Aku masih mencintai Julia.
Kenapa, aku tak mengerti. Tak rela rasanya, jika ada lelaki lain yang
memilikinya. Sudah dua tahun diriku di ma’had Al-Azhar, namun perasaan
itu belum terkikis. Seandainya saja aku bertemu dengannya di saat yang tepat,
pasti pilu hati tak akan pernah terjadi. Kenapa aku harus mengenalnya di
trinitania?! Kenapa kami di pertemukan di sana ?!
Seandainya saja aku tak pernah mengenalnya, mungkin dilema ini tak akan pernah
terjadi! Cinta, perbedaan agama, merana! Konyol! Tak ada gunanya bermimpi lagi!
Biarlah, kata orang itu memang skenario-Nya.
Jubah
malam terhampar, memaksaku bangkit. Kubangkit, menghempaskan mimpi-mimpi.
Biarlah trinitania menjadi masa laluku. Julia menjadi memoriku.
* * *
Malam ini aku
kembali duduk di balkon yang super asri. Asrama pelajar asing asdeqa, dengan
desainan Timur Tengah yang klasik nan antik kembali menjadi saksi nostalgia
cintaku. Aku rela, angin malam menjadi teman canda sepiku.
Sejak murtad, aku
tak peduli kata-kata orang yang menganggapku sebagai orang konservatif tingkat
tinggi. Mungkin gara-gara idealisme, enggan mengakui pluralisme. Emangnya
pluralisme seperti apa yang mereka maksud?! Pluralisme ras, adat, pergaulan,
kasih sayang, cinta sesama, kerja sama?! Kalau itu, tentu aku setuju.
Biarlah aku
hadir dengan diriku sendiri. Biarlah logikaku bergejolak dan hatiku berteriak,
bahwa Tuhanku hanya diri-Nya. Jika Tuhan Yesus, Tuhan Bapa, dan Roh Kudus
pernah menjadi Tuhanku, maka izinkan aku untuk meminta maaf pada Mereka
bertiga. Hati kecilku tetap berbisik bahwa Tuhanku Allah Swt. tak sama dengan
mereka.
Julia, mungkin
kita berbeda, namun aku tetap akan mencintaimu. Tak ada semak-semak berduri
yang mampu merintangi hadirnya cinta. Deburan ombak pantai pun tak mungkin
mengikis perasaanku padamu, Julia. Cinta yang tulus akan utuh bertahan, walaupun
badai lautan menghantam. Aku juga tak peduli
dengan catatan hitam, yang kau tulis untukku waktu itu, simbol keteguhan prinsipmu.
Untuk Kau Yang di Sana
Bebaskan
tanganku menari-nari, merangkai kata-kata yang mungkin akan menjadi ajal
terakhir hubungan kita. Inilah tragedi yang paling menyakitkan, sekaligus
membuatku muak. Aku muak dengan semua orang yang menggugat wahyu Yesus Kristus.
Aku jijik dengan orang-orang yang menggugat eksistensi Tuhan.
Bagaimanapun
ketampananmu tak sepadan dengan ketampanan hatimu. Hatimu penuh noda! Semua
kebaikan dan ketulusan hatimu, tak lebih dari isi neraka berkedok. Aku tak lagi
butuh Kau!
Enyahlah
Kau dari hadapanku wahai musuh Kristus. Tuhan Yesus tak butuh lagi pengakuanmu,
bahwa Dia Sumber Kebenaran. Dia tak butuh siapa-siapa untuk membela-Nya.
Kau telah
menyakiti hatiku! Kau telah menyakiti Yesus Kristus! Kau pembangkang yang nyata!
Mulai detik ini juga, Kau bagiku bukanlah siapa-siapa! Cintaku untuk Kau terlalu
hina oleh kesucian Kristus.
Abdi
Tuhan
Julia
Maheswara
Hahaha….Kau
kira hatiku keracunan kata-katamu itu, Julia?! Sama sekali tidak! Cintaku yang
wangi mampu meredam segalanya. Ketulusan itu, membuatku buta. Ingar-bingar
kata-kata tak lagi bermakna. Misteri hati, itu yang pasti.
Izinkan
angin malam menyampaikan salam rinduku wahai bidadariku. Aku masih di sini,
bersama cintaku. Satu saja harapanku, bebaskanlah hatiku, untuk mencintaimu.
* * *
Sakan Asdeqa, 9/11/2011