Kamis, 06 September 2012

Misteri Hati


          Sungguh aku masih muak dengan diriku sendiri! Kenapa harus kulalui jalan panjang yang bercecabang itu?! Aku muak dengan trinitania! Organisasi misionaris mahasiswa terselubung itu, sebab daripada perkenalanku dengan Julia. Organisasi itu pulalah yang telah menyebabkanku merana! Konyol!
        Kuterduduk di kursi balkon. Sarung kotak-kotak Gajah Duduk masih menutupi rahasiaku. Sesekali angin sore membelai-belai sarungku, membuat dalamku terasa sejuk. Kubiarkan badanku yang hanya dibalut singlet, menghadap matahari tenggelam. Kubuka injil lusuh yang kubawa dari Indonesia dulu, terbitan lembaga Alkitab Indonesia. Ada bagian yang kutandai di sana, di mana sebuah ayat di Injil Roma 5: 12, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang (Adam), dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Kupijit-pijit kepalaku yang agak nyut-nyutan oleh memori kelam beberapa tahun lalu. Ayat tersebut melemparkanku pada sebuah bencana hidup yang kini masih terus merongrong palung hati. Aku harus berpisah dengan Julia, mahkota dunia. Dasar ayat pembawa petaka!
Aku memang sangat menentang Roma 5: 12 itu. Semua orang yang punya otak pasti akan menolak dosa warisan. Mbok ya mikir, apakah layak seorang bayi mungil yang baru saja keluar dari rahim sang bunda, tiba-tiba harus memikul dosa?! Kata mereka sih dosa warisan. Memang, aku tahu bahwa semua itu masalah keimanan. Namun, keimanan tanpa didasari ilmu, bagiku tak lebih dari sebuah kepalsuan.
Aku masih memerhatikan kata-kata yang dikuduskan dalam injil itu, sambil sesekali meneguk kopi susu hangat di sampingku. Pemandangan matahari tenggelam di batas padang pasir tampak amat cantik. Namun kecantikan itu, masih kalah dengan kecantikan Julia Maheswara. Kuakui dia memang sangat cantik, lagi anggun. Walaupun sejak beberapa tahun lalu aku telah  berpisah dengannya, namun masih kurasakan hembusan ucapan-ucapan manis yang pernah dia ucapkan untukku. Ya, kata-kata yang manislah yang mendengung di kupingku. Adapun kata-kata busuk yang pernah dia ucapakan untukku, tak lebih dari angin lalu.
Aku mengenal Julia, sejak dia masuk jadi anggota baru trinitania. Semangatnya luar biasa untuk menghidupkan kembali jiwa kekristenan di tubuh para mahasiswa. Dia rela mengucurkan dana yang dia pinta dari ayahnya, demi sebuah misi suci. Dialah orang terdekatku selama itu, dalam penyebaran misi Kristen. Dialah belahan jiwaku. Namun, alam tiba-tiba berubah. Burung-burung yang tadinya bercicitan tak lagi bernyanyi. Rumput-rumput hijau yang bergoyang tiba-tiba terhenti. Musibah datang di sela-sela diskusi kami tentang teologi Kristen. Entah wahyu dari mana, sehingga aku menggugat habis-habisan tentang dosa warisan di Roma 5: 12. Aku juga mendapat pembelaan dari Yehezkiel 18: 20, “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.”
Beberapa bulan lamanya, tak ada salam sapa di antara aku dan Julia. Selama itu pula trinitania vakum dan menjadi bulan-bulanan. Penerbitan majalah dan seminar-seminar kekristenan sampai pada ajalnya. Kalau mau jujur, sebenarnya aku tak pernah ingin menyakiti agamaku, juga agama-agama lainnya. Hanya saja otak dan mulutku tak mampu lagi dikekang, manakala logikaku dibungkam.
Olok-olokan datang dari mana-mana, saat diriku resmi keluar dari trinitania. Cibiran keluarga dan hinaan tetangga kuterima, saat aku melarikan diri dari agamaku. Aku murtad! Sepertinya singkat dan gara-gara satu ayat aku menjadi murtad. Namun, bukan itu. Diam-diam aku menyimpan keragu-raguan sejak dulu, lama sekali, manakala kubaca sebuah buku perbandingan agama milik ayahku. Seingatku, waktu lulus SD dulu.  
“Sinting! Sinting! Kok bisa ya, hal itu terjadi?!”  Omelku.
“Ada apa to? Siapa yang sinting? Kau lagi sinting, ya?” Jhon muncul dari dalam mendekatiku. Nama aslinya Jhono. 
            “Mungkin gitu?” kataku asal aja.
            “Aku baru saja lihat foto seorang cewek misionaris beken itu?!
            “Facebook?”
            “Yo, kalau dilihat statusnya kayaknya dia mau nikah. Padahal aku lagi jatuh cinta pada fotonya,” katanya sambil mengikat rambutnya yang panjang.
            “Emangnya kau mau, andai nikah sama dia?”  
            “Yo mesti nggak…nggak nolak maksudnya,” katanya cengar-cengir.  
            “Nikah lintas agama, mau?”
            “Zaman modern kayak gini, kok masih mempermasalahkan perbedaan agama. Bahlul!” cibirnya sambil kembali masuk begitu saja.
            Kopi susu di sampingku sudah sampai pada tetes terakhir. Dingin mulai menembus pori-pori singlet di tubuhku. Entahlah, pantatku masih asyik menempel di kursi. Kututup injil. Kuterhanyut pada masa lalu lagi. Aku masih mencintai Julia. Kenapa, aku tak mengerti. Tak rela rasanya, jika ada lelaki lain yang memilikinya. Sudah dua tahun diriku di ma’had Al-Azhar, namun perasaan itu belum terkikis. Seandainya saja aku bertemu dengannya di saat yang tepat, pasti pilu hati tak akan pernah terjadi. Kenapa aku harus mengenalnya di trinitania?! Kenapa kami di pertemukan di sana?! Seandainya saja aku tak pernah mengenalnya, mungkin dilema ini tak akan pernah terjadi! Cinta, perbedaan agama, merana! Konyol! Tak ada gunanya bermimpi lagi! Biarlah, kata orang itu memang skenario-Nya.
            Jubah malam terhampar, memaksaku bangkit. Kubangkit, menghempaskan mimpi-mimpi. Biarlah trinitania menjadi masa laluku. Julia menjadi memoriku.

* * *
Malam ini aku kembali duduk di balkon yang super asri. Asrama pelajar asing asdeqa, dengan desainan Timur Tengah yang klasik nan antik kembali menjadi saksi nostalgia cintaku. Aku rela, angin malam menjadi teman canda sepiku.
Sejak murtad, aku tak peduli kata-kata orang yang menganggapku sebagai orang konservatif tingkat tinggi. Mungkin gara-gara idealisme, enggan mengakui pluralisme. Emangnya pluralisme seperti apa yang mereka maksud?! Pluralisme ras, adat, pergaulan, kasih sayang, cinta sesama, kerja sama?! Kalau itu, tentu aku setuju.  
Biarlah aku hadir dengan diriku sendiri. Biarlah logikaku bergejolak dan hatiku berteriak, bahwa Tuhanku hanya diri-Nya. Jika Tuhan Yesus, Tuhan Bapa, dan Roh Kudus pernah menjadi Tuhanku, maka izinkan aku untuk meminta maaf pada Mereka bertiga. Hati kecilku tetap berbisik bahwa Tuhanku Allah Swt. tak sama dengan mereka.
Julia, mungkin kita berbeda, namun aku tetap akan mencintaimu. Tak ada semak-semak berduri yang mampu merintangi hadirnya cinta. Deburan ombak pantai pun tak mungkin mengikis perasaanku padamu, Julia. Cinta yang tulus akan utuh bertahan, walaupun badai lautan menghantam. Aku juga tak  peduli dengan catatan hitam, yang kau tulis untukku waktu itu, simbol keteguhan prinsipmu.  

Untuk Kau Yang di Sana

Bebaskan tanganku menari-nari, merangkai kata-kata yang mungkin akan menjadi ajal terakhir hubungan kita. Inilah tragedi yang paling menyakitkan, sekaligus membuatku muak. Aku muak dengan semua orang yang menggugat wahyu Yesus Kristus. Aku jijik dengan orang-orang yang menggugat eksistensi Tuhan.
Bagaimanapun ketampananmu tak sepadan dengan ketampanan hatimu. Hatimu penuh noda! Semua kebaikan dan ketulusan hatimu, tak lebih dari isi neraka berkedok. Aku tak lagi butuh Kau!
Enyahlah Kau dari hadapanku wahai musuh Kristus. Tuhan Yesus tak butuh lagi pengakuanmu, bahwa Dia Sumber Kebenaran. Dia tak butuh siapa-siapa untuk membela-Nya.
Kau telah menyakiti hatiku! Kau telah menyakiti Yesus Kristus! Kau pembangkang yang nyata! Mulai detik ini juga, Kau bagiku bukanlah siapa-siapa! Cintaku untuk Kau terlalu hina oleh kesucian Kristus.

Abdi Tuhan

Julia Maheswara
  
     

            Hahaha….Kau kira hatiku keracunan kata-katamu itu, Julia?! Sama sekali tidak! Cintaku yang wangi mampu meredam segalanya. Ketulusan itu, membuatku buta. Ingar-bingar kata-kata tak lagi bermakna. Misteri hati, itu yang pasti.
            Izinkan angin malam menyampaikan salam rinduku wahai bidadariku. Aku masih di sini, bersama cintaku. Satu saja harapanku, bebaskanlah hatiku, untuk mencintaimu.  
           
* * *

Sakan Asdeqa, 9/11/2011