Sabtu, 26 November 2011

Metode Penafsiran Dengan Bahasa

Oleh: Irja Nasrullah


A. Pendahuluan

Sesungguhnya segala puji hanya untuk Allah Swt, Sang Pemilik Kesempurnaan. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada baginda Muhamad Saw, purnama yang telah menerangi semesta alam dengan cahaya tauhid-Nya. Semoga kita kelak disatukan dengan beliau di taman surga. Allahumma amiin.
“Dunia Tanpa Bahasa Terasa Hampa.” Ungkapan ini setidaknya mampu menyingkap keistimewaan dan kedudukan bahasa. Ketika menulis makalah ini, saya jadi berpikir, seperti apakah dunia ini jika tanpa bahasa?Allahu ‘alam. Allah Swt. telah menganugerahi dunia ini dengan bahasa. Tentu saja, ia merupakan kenikmatan besar yang diberikan-Nya untuk umat manusia. Dengan bahasa, kita mampu menciptakan serpihan-serpihan kecil menjadi sebuah sistem yang begitu kokoh. Mungkin seseorang sulit memahami kiasan ini, sebelum ia mengerti secara benar akan fungsi bahasa itu sendiri.
Dalam makalah ini kita akan mengerti korelasi bahasa dengan penafsiran teks-teks Suci Al-Qur’an. Sesuai tantangan zaman, bolehkah manusia mengabaikan bahasa dalam menafsirkan Kitab Suci? Kita akan segera mengetahui jawabannya insya Allah.


B. Keistimewaan Bahasa Arab

Menurut salah satu teori, bahasa di dunia ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bahasa Indo-Eropa, bahasa Semitiq-Chamito dan bahasa Touranien (Asia-Eropa). Karena pada kesempatan kali ini, kita akan mendalami seluk-beluk bahasa Arab; maka kita akan membagi bagian di atas, menjadi tiga bagian lagi, yaitu kumpulan bahasa Aramit (Arian), Hamit (Chamito), dan Samit (Semitiq). Adapun bahasa Arab, ia menjadi bagian dari kumpulan bahasa Samit. Menurut beberapa pengamat, bahwa tempat asal kumpulan penutur Samit ini, berada di bagian barat daya semenanjung tanah Arab , yaitu Yaman.
Bahasa Arab merupakan bahasa wahyu dan bahasa peribadatan yang masih bisa kita saksikan keistimewaannya sampai hari ini. Keistimewaan tersebut bisa dilihat dari sudut pandang sistem fonologi, sintaksis, morfologi dan lain-lain, yang tak bisa ditemui di dalam bahasa lainnya. Bahasa Arab juga telah mempengaruhi bahasa-bahasa di dunia, seperti bahasa di Eropa. Hal tersebut, merupakan hal yang wajar ketika kita menengok sejarah panjang peradaban Islam di Andalusia. Pada saat itu, bahasa Arab menjadi bahasa yang cukup bergengsi di Eropa.
Beberapa contoh pesona dan keunikan bahasa Arab, yaitu bahwa bahasa Arab kaya akan kosakata, kaidah analisis struktur ayat(i’rab) yang sempurna, sistem morfologinya yang unik, berdaya tahan dan ringkas (i’jaz), memiliki ungkapan yang halus dan teliti, dan beberapa keistimewaan lainnya. Contoh dalam sistem morfologi (baca: cabang linguistik yang mempelajari masalah morfem dan kombinasinya), kata dasar kataba bisa dipecahkan kepada beberapa variasi perkataan lain, seperti kitaabatun, kaatibun, maktuubun, maktabatun. Bukankah hal ini sangat unik, jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, atau dibandingkan dengan bahasa Inggris sekalipun. Itu baru sedikit contoh dari keistimewaan bahasa Arab, yang tidak bisa ditemukan di dalam bahasa-bahasa lain. Tidak berlebihan, jika bahasa Arab dikatakan sebagai kunci gerbang keilmuan.

C. Bahasa Arab dan Tafsir

Setelah mengetahui secara sederhana tentang seluk beluk bahasa Arab, akhirnya kita sampai pada poin penting. Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur’an,

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (Az-Zukhruf: 3)

Untuk memahami Al-Qur’an, diperlukan kejelasan maksud daripada ayat-ayat yang termaktub. Penjelasan maksud Al-Qur’an tersebut disebut dengan tafsir. Menafsirkan Al-Qur’an dengan benar, bukanlah hal yang mudah. Ia bukan layaknya buku-buku karya manusia yang bisa ditafsirkan dengan mudah. Akan tetapi, ia merupakan karya agung dari Ar-Rahman, yang akan terus terjaga keotentikannya sampai binasanya dunia ini. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Ketika dikatakan bahwa menafsirkan Al-Qur’an itu tidak mudah, bukan berarti Al-Qur’an tersebut sulit dipahami. Sebenarnya ‘tidak mudah’ tersebut, menggambarkan akan pentingnya beberapa metode yang harus diperhatikan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Di dalam kitab Usuluttafsir wa Qowa’iduhu, karya Syaikh Kholid Abdurrahman Al-Ak, dijelaskan beberapa metode penafsiran Al-Qur’an. Secara garis besar, metode penafsiran dibagi menjadi tiga, yaitu metode naqli , ‘aqli , dan lughah. Pembahasan kita selanjutnya hanya akan mengkhususkan pada metode lughah atau bahasa.
Sesungguhnya Baihaqi meriwayatkan dari Imam Malik Ra., sesungguhnya ia berkata: “Saya tidak akan mendatangkan seorang lelaki yang tidak mumpuni dalam bahasa Arab, untuk menafsirkan Al-Qur’an, kecuali aku memberikannya sebuah peringatan.” Kata-kata yang diucapkan seorang Imam penduduk madinah tersebut menyiratkan betapa pentingnya kedudukan bahasa Arab dalam penafsiran Dusturul hayah, yaitu Al-Qur’an. Imam Syatibi, juga pernah berkata, yang jika diterjemahkan kurang lebih seperti ini: “ Siapa saja yang ingin memahami Al-Qur’an, maka dari lidah orang Arablah ia bisa dipahami. Tidak ada jalan lain untuk memahaminya, selain itu. Hal senada dikatakan Mujahid, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, untuk membicarakan kitab Allah, sedangkan dia tidak ‘alim dalam bahasa Arab. Seseorang yang mempelajari bahasa Arab, berarti ia telah mempelajari bagian dari agama. Ia merupakan bahasa munajat antara hamba dan Rabb-nya.
Ketika Al-Qur’an diturunkan, orang-orang Arab begitu menguasai bahasa mereka, mengetahui uslub dan hakikatnya. Dengan hal itulah mereka mampu memahami dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, sesuai perkembangan masa, kemurnian bahasa Arab dinodai oleh bahasa-bahasa asing. Sehingga, setapak demi setapak, para generasi semakin menjauh daripada bahasa ibu yang masih asli itu.
Saat itu, orang-orang Arab sangat terpukau dengan struktur, estetika, dan nilai bahasa yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Mereka benar-benar tak mampu mengingkari akan mukjizat bahasa di dalam Al-Qur’an. Bagi mereka yang tidak sombong, maka akan bertekuk lutut di bawah cahaya Al-Qur’an. Allah Swt memberi hidayah kepada mereka. Adapun bagi mereka yang ingkar, kelakuan mereka tak lebih daripada sandiwara penipuan di hati kecil mereka. Mereka sebenarnya mengakui kemukjizatan Al-Qur’an, namun takabur lebih mereka cintai daripada mengakui kebenaran yang sejati. Ada di antara mereka yang jujur mengakui kedahsyatan bahasa dalam Al-Qur’an, sebelum ia beriman, namanya Walid bin Mughirah. Dia berkata: “Demi Allah, aku telah mendengar ucapan dari Muhamad, yang ucapan itu bukan ucapan manusia dan jin, sesungguhnya ia manis, dan darinya ada keindahan, di atasnya berbuah, dan di bawahnya(akarnya) lebat.” Walid bin Mughirah telah menemukan keagungan serta power yang teramat hebat dalam diri Al-Qur’an, walaupun dia belum beriman kepadanya! Maha suci Allah…
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui keagungan Al-Qur’an; memahami makna, tafsir, dan takwilnya, maka tak ada solusi yang paling tepat, kecuali mempelajari bahasa Arab itu sendiri.

D. Metode Sahabat Dalam Penafsiran Melalui Bahasa dan Syair

Untuk memahami dan mengetahui maksud Al-Qur’an, diperlukan bahasa Arab yang murni. Syair merupakan salah satu elemen penting yang berperan dalam pemurnian bahasa Arab. Ibnu Abbas berkata: “Syair merupakan diwanul ‘arab, maka jika kita menemukan kesamaran huruf dalam Al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa Arab, kembalilah kepada diwan-nya; maka darinya kita mengetahui maksudnya. Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang menggunakan bahasa, yaitu syair jahiliah untuk memahami lafadz-lafadz dan tafsir ayat Al-Qur’an. Adapun kisah tentang hal itu masyhur, ketika Nafi’ bin Azraq dan Najdah bin ‘Uwaimar menghadap beliau; keduanya bertanya tentang tafsir beberapa ayat Al-Qur’an, dan mereka mendapatkan jawaban darinya berupa syair-syair Arab. Hal lain juga terjadi pada Umar bin Khattab, ketika sedang berkhutbah di mimbar. Beliau ditanya oleh seorang lelaki akan ayat dalam surat An-Nahl: 47, yang berbunyi:

أَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ“Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa).”

Maka seorang lelaki dari bani Hudzail berkata kepadanya: التخوف عندنا التنقص ,kemudian dia mengucapkan syair yang menerangkan tentang kata-katanya itu. Kemudian Umar berkata, “ Wahai sekalian manusia, berpeganglah pada diwan syair jahiliah kalian. Sesungguhnya di dalamnya ada tafsiran kitab kalian.”
Ada satu catatan yang harus terhujam kuat di benak kita, yaitu bahwa ketika Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai komponen dalam penafsiran Al-Qur’an, beliau tidak spontanitas menerima atau menggunakan syair itu; namun melalui serangkaian proses pengfilteran dan sorotan tajam akan hakikat Syair Arab. Perlu diketahui bahwa syair Arab jahiliah mengandung segala keorisinilan Arab, dan mencakup paling banyak gramatika kebahasaan. Orang Arab menggunakan kekayaan lafadz kolosal dalam kandungan seni syair-syairnya. Syair jahiliah waktu itu, mengoleksi cakupan kesenian, yang berpartisipasi dalam kematangan bahasa dan kesempurnaan nilai seni.

E. Syair Arab Serta Periwatannya di Masa Jahiliah dan Islam

Kehidupan dunia ini tak lepas dari sebuah proses. Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam berganti menjadi hari, dan seterusnya. Manusia tak mampu menepis semua itu. Suatu generasi akan digantikan oleh generasi lain. Perubahan lingkungan akan terus berkelanjutan sampai tercabik-cabiknya dunia fana ini. Dalam sebuah teori dikatakan bahwa perubahan lingkungan itu bersifat cepat dan sekaligus.
Hubungannya dengan syair, ia juga akan terus berproses dan diriwayatkan terus menerus. Secara alami, riwayat menjadi sebab tersebarnya syair Arab, sebelum kedatangan Islam dan sesudahnya. Pada masa jahiliah, terdapat tobaqoh yang meriwayatkan syair yaitu yang disebut dengan tobaqoh penyair. Bagi penyair yang ingin me-nadzam-kan syair dan menyebarluaskannya, maka dia harus meriwayatkan syair tersebut dari penyair yang lain. Syair tersebut selalu diriwayatkan untuknya dan yang lain, agar sumber-sumber syair itu menyebar dan terus mengalir.
Setelah Islam datang, orang Arab menerima Al-Qur’an; membaca, memahami, dan merefleksikannya. Mereka tidak meninggalkan dan tidak melupakan syair. Bahkan, banyak para sahabat yang membacakan syair untuk junjungan kita, Rasulullah Muhamad Saw. Di antara mereka adalah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, yang dijuluki dengan ‘penyair nabi.’ Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan, bahwa Rasulullah Saw menyuruh Hasan bin Tsabit untuk mencela kaum musyrikin. Rasulullah Saw menempatkannya di mimbar untuk melaksanakan tugas itu. Beliau Saw mendoakannya dengan doa, أللهم أ يّده بروح القدس" " Begitu juga dengan Abu Bakar yang sangat tahu akan nasab orang Arab, berita-berita, dan syair-syairnya. Dia membacakan syair untuk nabi, dan beliau Saw pun memperhatikannya. Hal sama juga dilakukan Abdullah bin Rawahah, yang spontanitas membacakan syair kepada Nabi Muhammad Saw,
يوم الحساب فقد أزرى به القدر أنت النبّي ومن يحرم شفا عته
تثبيت موسى ونصراكالذى نصروا فثبّت الله ما آتا ك من حسن
Maka Nabi berkata, "وانت فثبتك الله يا ابن رواحح" Masih banyak kisah-kisah lain yang menceritakan hal serupa, seperti yang ditulis oleh Syaikh Kholid Abdurrahman Al-Ak, dalam kitabnya Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu.
Adapun maksud “العرب الشعردوان” tanpa terikat oleh perincian ta’rif secara etimologi dan terminologi adalah bahwa ilmu-ilmu Arab dan pengetahuan di dalamnya, seperti bahasa, sastra, sejarah, hukum, alegori, berita-berita, dan eksperimen di dalam segala macam setting kehidupan, telah terpatri di dalam syair-syair mereka. Dari sinilah para penyair mendapatkan prioritas tinggi, serta syair-syair mereka menempati kedudukan yang mulia.

F. Kriteria Tafsir Lughawy

Jika menelisik kembali akan tafsir dengan metode bahasa, maka cara penafsiran tersebut tidak keluar dari bingkai pemahaman tafsir binnaqli, maksudnya yaitu menukil bahasa dari orang-orang Arab. Adapun syarat yang harus terpenuhi dalam tafsir lughawy, hampir persis dengan syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam tafsir binnaqli. Namun, kita perlu mempresentasikan beberapa hal yang telah ditancapkan para ulama, berhubungan dengan penafsiran lughawy.
Imam Qurtubi memberikan ‘tanda merah’ dalam penafsiran Al-Qur’an . Ia berkata dalam mukadimah tafsirnya, tentang hal yang harus dihindari di dalam penafsiran secara bahasa adalah “Terlalu cepat dalam menafsirkan Al-Qur’an secara dzohir bahasa Arab saja, tanpa menyeleksi secara sima’i dan naqli terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ghoroibul qur’an, lafadz-lafadz yang samar, mubdallah, dan apa-apa yang yang ringkas, yang dibuang, kata ganti, taqdim, dan ta’khir. Barang siapa yang tidak menghukumi dzohir bahasa Arab dan cepat dalam mengambil kesimpulan makna sesuai dzohir bahasa Arabnya saja, maka ia telah terperangkap dalam golongan orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akal.
Dalam kaidah tafsir lughawy, bahwa setiap hal yang diabsahkan dalam bahasa, bukan berarti ia sah untuk penafsiran Al-Qur’an. Seorang mufasir harus mengetahui konteks ayat, asbabunnuzul, dan qorinah-qorinah yang menyertainya. Jika hanya bersandar pada bahasa saja, maka berarti telah mengabaikan tujuan Mutakallim bih subhanahu wata’ala melalui Kitab Suci-Nya. Setiap kata mempunyai konteksnya masing-masing dan tidak layak dicocokkan dengan kata lainnya. Abu ‘Abidah Mu’ammar bin Matsna merupakan contoh seseorang yang telah melakukan kepicikan dalam penafsiran. Dalam Majazul Qur’an, ia menggunakan metode yang mujarrod pada teks-teks Arab. Ibnu Taimiah mensifati orang-orang seperti dia dalam kitab Muqoddimah Ushuluttafsir, yaitu sebagai kaum yang menafsirkan Al-Qur’an terbatas pada pengesahan ucapan-ucapan Arab, tanpa memandang Mutakallim, Munazzal ‘alaih, dan mukhattab bih…hanya terjerembab pada masalah tekstual, seperti yang dimaksud orang-orang Arab, dengan tanpa berpegangan pada Pembicara dan konteks pembicaraan.”
Ghoroib yang tidak bisa dipahami kecuali dengan sima’i sangat banyak jumlahnya. Masih ingatkah dengan sebuah ayat Al-Qur’an surat Al-Isra’: 59, yang berbunyi,

وَآَتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا“Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” 
Adapun makna ayat di atas, adalah mukjizat yang bisa dilihat, kemudian mereka menganiaya diri mereka sendiri dengan membunuh onta betina itu. Jika dilihat secara dzohir, maka maknanya adalah bahwa onta betina tersebut bisa melihat. Tidak diketahui dengan cara apa mereka mendzolimi onta itu. Mereka telah mendzolimi yang lain dan mendzolimi diri mereka sendiri. Ini merupakan contoh hadzf dan dzomir yang berada pada ayat-ayat suci. Jika ditinjau lebih jauh, maka hal-hal yang serupa akan banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an.


G. Ghoroibul Alfadz di dalam Al-Qur’an

Al-‘alamah Mustofa Shodiq Ar-Rofi’i berkata dalam kitabnya Tarikh Adab ‘Arab: 
“Di dalam Al-Qur’an terdapat istilah yang dilontarkan para ulama, yang dinamai dengan Al-Ghoroib. Hal ini bukan berarti bahwa ghoroib tersebut sesuatu hal yang jelek atau menyimpang. Al-Qur’an terhindar dari semua hal tersebut. Sebenarnya makna Al-Lafdzoh Al-Ghoribah di sini adalah lafadz-lafadz yang sebenarnya baik dari kaca mata bahasa, hanya saja tidak diketahui maknanya oleh kebanyakan manusia.
Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Baihaqi dari Abi Hurairah Ra., di sana dikatakan: أعربو القرآن والتمسوا غرائبه) ( . Adapun maksud dari i’rab di situ adalah mengetahui makna lafadz-lafadzAl-Qur’an, bukan seperti i’rab menurut ahli nahwu.
Contoh dari ghoribul alfadz: Q.S. ‘Abasa: 31, (وفاكهة وأبّا). Dalam sebuah hadits Anas Ra., diterangkan bahwa Umar Ra. ditanya akan arti أبّاdalam ayat tersebut. Namun ia menjawab, (نهينا عن تعمق والتكلف)yang secara otomatis bahwa dia tidak tahu atau tidak mau menjawab arti kata tersebut. Akan tetapi, di dalam riwayat lain bahwa Ibnu Abbas mengartikan ayat tersebut dengan rerumputan.
Setiap mufasir harus mengetahui Ghoroibul Qur’an serta menyingkapnya dari sudut pandang bahasa; termasuk di dalamnya macam-macam kata benda, kata kerja, dan huruf. Karena sedikitnya ulama nahwu yang memberitahukan makna huruf, maka kita perlu mengacu kepada kitab-kitab mereka. Adapun asma’ dan af’al, keduanya bisa dipelajari lewat kitab ilmu lughah, seperti karya agung Ibnu Sayid, Attahdzib karya Azhari, Muhkam karya Ibnu Sayyidah, dan lain-lain.

H. Bahasa dan Tafsir Ifrady Al-Qur’an

Dalam pembahasan kali ini, para ulama telah memberikan ketentuan dalam merealisasikan maksud penafsiran.
Imam Suyuti berkata dalam kitabnya Al-Itqan : “Setiap mufasir wajib mendeteksi ketepatan penafsiran terhadap kitab yang ditafsirkan; dan mendeteksi hal-hal yang mengurangi kejelasan makna atau tambahan yang tidak layak sesuai tujuan. Seorang mufasir bisa saja menyeleweng dari segi makna dan menyimpang dari jalannya. Dia harus menjaga makna hakiki dan majazy; serta menjaga susunan dan konteks kalimat, menghubungkan di antara mufrodat, dan wajib memulainya dengan ilmu-ilmu atau permaslahan lafdzy. Permulaan yang dilakukan adalah dengan menyatakan lafadz-lafadz mufrodat dan menjelaskannya dari sisi bahasa.
Melihat arti mufrodat merupakan sesuatu yang muhim di dalam penafsiran Al-Qur’an. Selain itu, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menganalisis maksud serta isti’mal-nya sesuai dengan konteksnya.

I. Nilai Nahwu Dan I’rab Dalam Penafsiran

* Pengertian Nahwu dan I’rab
a. Nahwu
Etimologi : Maksud dan jalan.
Terminologi : Kaidah untuk mengetahui formula kata-kata Arab dan keadaannya, ketika ifrad dan ketika penggabungan.
b. I’rab
Etimologi : Penjelasan.
Terminologi : Penjelasan dari makna-makna lafadz.

Jadi, setelah kita mengetahui pengertian keduanya secara etimologi dan terminologi, maka dapat diambil kesimpulan dari makna keduanya, yaitu ilmu yang menjadi perantara untuk mengetahui keakuratan bahasa Arab.
Oleh karena itu, ilmu nahwu dan i’rab menempati kedudukan penting dalam ilmu tafsir. Kedua cabang ilmu tersebut, menjelaskan makna dan maksud Al-Qur’an.
Setiap makna akan berubah dan berbeda sesuai dengan perbedaan i’rab-nya. Imam maky bin Abi Thalib Al-Qaysi, di dalam kitabnya Musykilu I’rab Al-Qur’an atau yang disebut dengan Tafsir I’rab Al-Qur’an berkata dalam mukadimahnya, “Saya melihat bahwa sesuatu yang paling agung bagi penimba ilmu-ilmu Al-Qur’an, yaitu kecenderungannya bergelut dengan tajwid lafadznya, memahami maknanya, mengetahui qiraah dan bahasanya. Adapun yang paling dibutuhkan olehnya yaitu mengetahui i’rab-nya…”Kemudian beliau berkata lagi, “Dengan pengetahuanya tentang i’rab, maka akan diketahui makna-maknanya, akan terang isykal-nya, menjadi jelas manfaatnya, dan bisa dipahami khitab-nya, serta benar dalam memahami hakikat maksudnya.

* Perbedaan Tafsir I’rab dan Tafsir Makna

Menurut imam Suyuti di dalam Al-Itqan, bahwa ada perbedaan dalam tafsir i’rab dan tafsir makna. Perbedaan itu dilihat dari sisi nahwu, yaitu bahwa tafsir i’rab harus memperhatikan kaidah nahwu. Adapun tafsir makna, ia tidak terlalu terikat oleh kaidah nahwu.

* Nahwu dan Al-Qur’an

Dalam sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib Ra., beliau berkata: “Pelajarilah nahwu! Sesungguhnya Bani Israil telah kafir karena satu huruf. Bahwasanya di dalam Injil tertulis, أنا ولّدت عيسى (dengan tasydid), maka mereka meringankan atau menghilangkan tasydid, sehingga dengan hal tersebut mereka menjadi kafir.
Dalam Al Jami’ As Soghir, milik imam Suyuti, diterangkan hadits dari rasulullah Muhamad Saw, dorongan untuk selalu meluruskan lisan (ucapan):
رحم الله امرأ أصلح من لسانه
Yang artinya, Allah merahmati orang yang memperbaiki lidahnya (ucapannya).


J. Metode I’rab Al-Qur’an

Berikut ini metode i’rab Al-Qur’an, sesuai ketentuan para ulama:
1. Memahami makna yang akan di-i’rab-kan, secara mufrod atau murokkab, karena hal tersebut merupakan bagian dari makna.
2. Memperhatikan kehendak sina’ah, maka boleh jadi dalam konsep i’rab benar, akan tetapi karena tidak memperhatikan sina’ah, maka akhirnya terhempas pada kesalahan.
3. Hendaknya mengetahui multidimensi bahasa Arab, agar tidak keluar dari kaidah yang telah ditetapkan.
4. Menghindari perkara yang jauh (dari pembahasan) dan sesuatu yang dho’if , serta bahasa yang menyimpang. Hendaknya menggunakan hal-hal yang dekat (dengan pembahasan), kuat, dan fasih. Ketika tidak menemukan sesuatu pun, kecuali hal-hal yang jauh (dari pembahasan) itu, maka boleh menggunakannya (karena darurat). Apabila memaparkan semua hal yang berhubungan dengan i’rab, berpanjang lebar dalam penjelasan terhadap hal-hal yang sulit, dan pemaparan kepada tholib, maka sebaiknya jangan menggunakan lafadz Al-Qur’an. Adapun Al-Qur’an harus dijelaskan atau dihadapkan dengan yaghlib Ad-dzon. Jika tidak terbesit yaghlib Ad-dzon, maka sebutkan hal-hal yang memungkinkan ada padanya (Al-Qur’an) dan jangan bertindak sewenang-wenang.
5. Mengumpulkan atau mengambil segala kemungkinan-kemungkinan lafadz dari segi dzohir-nya.
6. Menjaga atau memperhatikan syarat-syarat yang berbeda sesuai dengan babnya masing-masing. Jika hal tersebut tidak diperhatikan, maka akan terjadi ketidaksesuaian percampuran syarat dengan babnya.
7. Memperhatikan setiap hal-hal yang isykal atau ghumudz pada setiap tarkib-nya, karena boleh jadi akan ditemukan hal lain dalam tema tersebut.
8. Menjaga atau memperhatikan bentuk rosm
9. Perhatian pada masalah mutsyabbihat (ayat-ayat mutasyabbihat).
10. Tidak keluar dari keadaan asli atau dzohir, jika tidak dikehendaki (oleh qorinah lain).
11. Meneliti keaslian dan tambahan (dalam lafadz).
12. Jangan menyangka bahwa tambahan pada Kitab Suci Al-Qur’an tersebut adalah sebuah hal yang sia-sia dan tak ada gunanya.


K. Apakah Mungkin Menghindar dari Bahasa dalam Sebuah Penafsiran?

Ketika saya telah menyelesaikan makalah ini sampai pada poin ‘J’ saya benar-benar terhenyak oleh realita bahasa yang tidak bisa lepas dari teks-teks suci Al-Qur’an. Secara tiba-tiba terbesit untuk menambahkan poin ‘K’ ini sebagai analisis bersama atas kenyataan yang sedang terjadi, akan kehadiran sekte-sekte yang terus mencoba menggerogoti keotentikan Al-Qur’an. Beberapa mereka selalu menggembor-gemborkan slogan ‘Kebebasan dan Kemanusiaan.’ Slogan yang sebenarnya menyimpan sejuta tanda tanya tersebut mempunyai power yang luar biasa dalam melumpuhkan pilar-pilar keimanan orang-orang Islam saat ini, teruma komunitas pemuda. Inilah salah satu gambaran pemahaman mereka: “Melalui pemahaman wahyu Allah sebagai teks, sesungguhnya tidak dituntut keharusan prasyarat iman atau afiliasi religius tertentu ketika membacanya. Teks berada diluar kategori sekular-religius atau atheistik-theistik. Teks masuk dalam jangkar kategorik tersebut ketika diletakkan sebagai salah satu kutub dialektika saat subyek (akal) mengawini obyek (teks) dalam proses penafsiran yang bisa jadi dimotivasi sekedar gairah akal untuk mengetahui segala sesuatu, atau lebih dari itu juga dilekati motif transendensi, penghayatan adanya relasi dengan Dzat Adikodrati. Maka dari itu, Al-Qur’an dapat didekati, dibaca dan ditafsirkan oleh siapa saja, sebagaimana pula wahyu Allah yang berujud sunnatullah dapat dimasuki oleh siapapun, tanpa memandang preferensi religiusnya, status sosialnya, maupun etnisitasnya. Al-Qur’an adalah kalam Allah, sebagaimana sunnatullah, ia berlaku transhistoris. Ia bukan monopoli zaman Nabi, bukan pula bangsa Arab. Ia milik setiap manusia pada konteks zamannya masing-masing. Siapapun boleh beroleh manfaat, menimba inspirasi atau petunjuk darinya. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS. 59 : 2).” Ditambah lagi oleh sebuah artikel yang berjudul Bentuk Hermeneutika Islam, ditulis oleh Nasrul Azwar yang sebenarnya ringkasan dari Abdul Hadi W. M. Cuplikan artikel tersebut adalah “Razaq al-Kasyani, seorang sufi abad ke-13 M, menghubungkan tradisi takwil dengan sabda Nabi yang populer dan bermaksud, "Tidak ada ayat Al-Quran yang tidak mempunyai makna zahir dan sekaligus makna batin, batasan (hadd) dan sekaligus tempat ke mana kita melakukan pendakian" (Murata 1992:301).
Jadi salah satu motif sekte-sekte berkedok tersebut dalam usaha merobohkan keorisinilan Al-Qur’an adalah dengan cara ‘takwil serampangan sesuai kemauan.’
Pedih rasanya jika umat Islam sudah mengabaikan lughoh dalam model penafsiran Al-Qur’an. Padahal baru saja kita tahu, bagaimana realita lughoh tidak bisa dipisahkan dari penafsiran Al-Qur’an. Sebenarnya masih banyak yang perlu kita kristisi dalam poin ini, namun apa daya, waktu tak merelakan saya untuk memaparkannya lebih lanjut.
Baiklah, untuk mempersingkat, saya akan menutupnya dengan mengatakan “Tidak mungkin meninggalkan bahasa dalam proses penafsiran Al-Qur’an!”

L. Penutup

Alhamdulillah, saya ikrarkan kepada Allah Swt, yang telah melancarkan terselesaikanhnya makalah ini. Bagaimanapun, makalah ini masih dipenuhi dengan berbagai macam kekurangan. Koreksi Antum menjadi hadiah terbaik untuk saya dalam memperbaiki kesalahan tersebut. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat fiddiini, waddunya, wal akhiroh. Terima kasih atas partisipasi Antum semua. Mohon maaf atas segala kesalahan. Allahummahdinaashirathal mustaqiim. Semoga berjaya!

M. Referensi

1. Muhammad, Azhar, Beberapa aspek keunikan dan keistimewaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an Jurnal Teknologi, edisi 42/Juni 2005, Universiti Teknologi Malaysia, Johor, 2005. (Pdf.)
2. As-Syujairy , Dr. Hadi Ahmad Farhan, Ad-dirasat Al-lughawiyyah wan nahwiyyah fi muallifatti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Basyar Islamiah, Lebanon, cet. I, 2001.
3. ‘Ulwan, Abdullah Nashih, Ma’alimul hadharah fil Islam wa atasriha fin nahdhotil orabiyyah, Darussalam, Cairo, cet. IV, 2005.
4. ‘Utsaimin, As Syaikh bin Muhammad Solih dan As Syaikh Muhammad bin Ahmad Alhasyimi, Addurrah nahwiyyah fi syarhil al ajrumiyyah , Muqaddimah Markaz Al-Minbar litahqiiqi wal baths al-‘ilmi, Dar Ibnu Jauzi, Cairo, cet. I, 2006.
5. Syatibi, Imam, Al-muwafaqaat fi ushulis syari’ah, ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz, vol. 1, Darul Hadits, Kairo, 2006.
6. Suyuti, Imam, Al-Itqan, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Darul Hadits, Cairo, 2004.
7. Al-Ak, As-Syaikh Kholid Abdurrahaman, Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, Darun Nafais, Lebanon, cet. V, 2007.
8. Tresna,Yuana Ryan, Art of War, Progessio, Bandung, cet. I, 2007, hal. 41
9. Abu Sa’adah, Dr. Syafik Abdurrazzak, et. al., Rasyfaat Min Manahilil Adab Al-Islami wal Amwa, hal. 18 (muqaarar adab Fakultas Ushuluddin, tingkat II, 2008-2009).
10. Qurtubi, Imam, Aljami’ Ahkamul Qur’an-tafsir Al-Qurtubi, ditahkik oleh Hani Al-Hajj, vol. 1, Maktabah Tawfikia, Kairo, 2008.
11. Dr. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby, Qowa’iduttarjih ‘Indalmufassirin, vol. 1, Darul Qosim, Riyad, Cet. II, 2008.
12. Taimiah, Ibnu, Syarhu Muqaddimah fi Ushuluttafsir, ditahkik oleh Syaikh Muhamad Solih Al-‘Utsaimin, Darul Akidah, Kairo, cet. I, 2008.
13. Katsir, Ibnu, Tafsir Qur’anul ‘Adzim, ditahkik oleh Syaikh Muhamad Syakir, et. al., Darul Atsar, Cairo, cet. I, 2009.
14. Mandzur, Ibnu, Lisanul ‘Arab, vol. VIII, Darul Hadits, Cairo, 2003.
15. Anbabi, Syaikh Muhamad, Qowa’idullughatil ‘Arabiyyah, Maktabah Adab, Cairo, cet. I, 2008.