Jumat, 27 Februari 2009

Cerpenku


LENTERA

Aku duduk menyatu dengan kesunyian malam, mengamati bulan yang keemasan.cahayanya begitu redup dan menebarkan cahaya kasih sayang pada semesta alam. Jutaan bintang-bintang di angkasa raya berkerlap-kerlip bagaikan jutaan mutiara yang selalu menghiasi langit malam, terus bertasbih kepada-Nya.Desiran angin malam menembus pori-pori bajuku. Gemersik dedaunan dan nyanyian binatang malam berpaut-pautan, memuji kebesaran-Nya. Nada-nada malam mulai menghantam perasaanku dan secara perlahan-lahan mulai mengiris-iris hatiku, manakala aku hanyut dalam nostalgiaku pada kisahku beberapa tahun yang lalu. Masa laluku sangat hitam dan begitu pekat.
Aku menyusuri jalanan yang berliku dan cukup terjal pagi itu. Jalanan yang membelah hutan pinus itu adalah jalan utama yang akan menghubungkan dengan jalan beraspal. Dengan membawa tas hitam yang kubeli beberapa tahun yang lalu, aku terus berjalan dan harus berjalan sekitar tiga kilo meter. Itu bukan suau pekerjaan yang berat, tetapi sudah menjadi hal yang biasa.Tujuanku kali ini adalah SMA Bhakti karya, Kalijambe, Purworejo, sebuah tempat di mana aku menapaki jalan keilmuan.
"Met pagi Mira…" sapa temanku di dekat pintu gerbang sekolah.
"Pagi juga…" jawabku.Ini adalah hari terakhir ujian sekolah semester II, dengan mata pelajaran akutansi.Tanpa basa-basi aku menghamburkan diriku kepada teman-temanku. Sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi. Benar, tak berapa lama bel berbunyi dan aku masuk ke kelas II IPS 3. Semua terlihat begitu serius kecuali aku. Entahlah diri ini terlalu kenyang dengan masalah hidup yang tak pernah terhenti, bahkan pada saat mengerjakan ujian pun aku tak pernah henti-hentinya dihantui oleh masalah-masalahku.
Suasana kelas sunyi. Semua yang berada di kelas masih dengan mulut terkatub, berpusar pada konsentrasi untuk meraba jawaban-jawaban ujian. Begitu juga denganku yang terus mencoba berkonsentrasi, mencoba mencampakkan masalah-masalahku. Ketika aku terus mencoba, ternyata semakin getir yang aku rasakan, dan semakin pahit yang aku telan. Semua rumus-rumus tak ada yang kuingat kecuali sedikit sekali. Aku tak berdaya. Aku pasrah hinga bel tanda akhir ujian berbunyi.

* * * *

Malam sudah mengepakkan sayapnya. Seperti biasa aku kembali beraktivitas di dalam keremangan malam dan jauh dari keramaian.Ini adalah suatu pekerjaan yang sangat beresiko.Ini kaitannya dengan harga diri.Ini sangat erat kaitannya dengan kehormatan seorang wanita.Sudah sangat lama harga diriku terluka. Aku telah menjual kehormatanku demi sebuah nyawa seorang ibu.Ibuku yang kini tergolek lemah tak berdaya, membutuhkan obat dan perawatan.Untuk masalah biaya sekolah, aku telah mendapatkan keringanan dari sekolah. Tapi sekali lagi aku katakan, "Demi nyawa seorang ibu".
Setiap kali datang seorang lelaki yang siap merenggut kehormatanku, hati ini menjerit, jeritan yang akan menghentikan aliran darah dan mengoyak malam yang tenang. Di sisi lain terbayang wajah ibu yang lemah akan segera minum obat dengan hasil dari pekerjaan yang beresiko itu. Diriku pasrah.
Pagi pukul empat aku harus pulang bekerja. Dengan naik ojek seharga empat ribu rupiah aku akan cepat sampai di rumahku. Pekerjaan itu tidak kulakukan setiap hari, karena aku harus membagi waktuku, di mana aku juga masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Aku tak pernah memberikan waktuku untuk gereja dan mengikuti kebaktian setiap hari minggu. Memang dulu ketika ayah masih ada kami adalah penganut Kristen yang taat.Tapi, semenjak ayah tiada tak terbekas sama sekali kekristenanku.
"Bu, ini Mira belikan obat untuk ibu." kataku perlahan kepada ibu.
Ibu masih terdiam. Kutatapi wajahnya. Matanya cekung, wajahnya terlihat kering dan pucat, tulang-tulangnya terlihat menonjol. Dia mulai bergerak, tangannya meraba-raba, ingin mencari sesuatu.
" Bu, ini mira disini, di dekat ibu". kataku kepada ibu. Aku meraih tangan ibu.Terlihat bola matanya bergerak-gerak, dan beberapa saat kemudian secara perlahan membuka matanya.
" Nduk…" kata ibu perlahan.
" Iya,bu? Mira di sini".
Aku mengambilkan semangkuk bubur nasi putih untuk ibu. Kusuapi ibu.Sisi halus perempuanku tiba-tiba muncul. Mataku basah melihat kondisi ibu yang seperti ini. Air mataku terus meleleh.Kupijit-pijit kakinya sambil aku terus menyuapinya. Jika aku melihat tubuh ibu yang kerontang ini, aku jadi teringat dua orang pengemis yang sering aku lihat. Dua orang itu sekurus ibuku. Mereka selalu duduk di dekat pintu gerbang sekolah, mengharapkan belas kasihan orang-orang yang tersentuh hatinya. Aku terkadang datang untu memberikan sekadar recehan kepada mereka. Aku sering salah tingkah ketika mereka selalu menatapku lama-lama, seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadaku, tetapi tak tersampaikan dan tercekik di leher.
Aku masih di samping ibu setelah kubantu dia untuk minum obat. aku terus menugguinya hingga ibu bisa tertidur.

* * * *

" Mira!" teriak temanku, Winani namanya.
" Ya, da apa?" kataku.

" Di panggil pak Hadi di ruang BK(bimbingan konseling)." kata winani
" Ya, aku akan segera ke sana." kataku
Aku bergegas menuju ruang BK. Ada apa gerangan? pikirku.Tak biasanya pak Hadi memanggilku. Lagi pula beliau guru PAI(pendidikan agama islam). Aku tak pernah mengikuti pelajarannya."Jangan-jangan…"pikirku. Sambil berjalan menuju ruang BK, pikiranku dipenuhi bermacam-macam pertanyaan. Aku pun tiba di ruang BP. "tok,tok,tok…"Aku mengetuk pintu ruang BP. "krek…" pintu pun terbuka dan muncul seorang lelaki yang cukup muda dengan pakaian seragam, jas dan celana abu-abu.
" Silakan masuk!" Perintah orang itu, pak Hadi.
" Terima kasih." kataku.
Aku pun masuk dan duduk berhadap-hadapan dengan pak hadi di ruangan khusus untuk BK (bimbingan konseling). Di sana aku ditanyai bermacam-macam hal, seputar pelajaran dan kehidupanku. Aku bagaikan seorang tereksekusi yang terus dilempari bermacam-macam pertanyaan. Aku benar-benar terhipnotis. Tak ada yang bisa aku sembunyikan, termasuk pekerjaan malamku selama ini.
Tak kutangkap wajah yang menampakkan tanda-tanda kekagetan dan kekecewaan, manakala aku beberkan rahasia-rahasiaku. Rahasia yang sebenarnya tak seoarang pun boleh tahu. Tapi, dengan aku beberkan masalah-masalahku ini, aku berharap ada lorong-lorong terang yang bisa kulewati untuk menuju kehidupan yang lebih putih.
Sepertinya beliau sudah terbiasa dengan masalah-masalah yang dialami murid-murid di SMA ini dan permasalahan tetap terjaga di pihak orang-orang BK saja, tanpa di ketahui murid-murid yang lain. Memang begitulah tugasnya, memberikan bimbingan konseling kepada para murid dan para murid akan mendapatkan pengarahan-pengarahan dari beliau.
" Aku ikut prihatin dengan masalah yang kamu alami." kata pak Hadi kepadaku. Beliau menunduk. Aku juga tertunduk. Beberapa saat tak ada suara yang keluar dari mulut, yang hanya ada hanya kesunyian siang bolong. Aku tak bisa lagi membendung air mataku, meratapi nasibku yang begitu malang. Dalam hati aku terus mengutuk diri sendiri. Mengapa aku harus mengalami derita seperti ini…. Mengapa bukan orang lain…. Mengapa aku diciptakan di dunia untuk menjadi seperti ini….Air mataku benar-benar mengucur deras. Semuanya terasa dingin dan membeku. Darahku membeku.
Setelah beberapa saat yang cukup lama, pak Hadi pun membuka pembicaraan. Beliau berkata dengan sangat bijak dan memberikan lentera hati kepadaku. Beliau mengutip sebuah kisah kesabaran dari cerita-cerita rasul ulul 'azmi yang sangat sabar dalam menghadapi duri-duri kehidupan. Dia memberikan nasehat yang dikutip dari Al-qur'an dan hadis nabi SAW. Sebuah lentera tiba-tiba muncul dalam hatiku. Inilah lentera yang selama ini belum pernah aku dapatkan. Aku berharap bahwa ini benar-benar lentera sejati yang akan membawaku menuju cahaya.
Aku berada di ruang BK kira-kira selama dua jam.Aku benar-benar telah mendapatkan pencerahan. Aku berniat akan meninggalkan pekerjaan malamku selama ini. Masih ada jalan lain yang lebih baik dari pada itu. Aku baru merasakan apa pentingnya arti orang lain, yang suatu saat kita pasti butuh bantuan atau nasehatnya.Sealin itu aku juga baru mengerti dari sebuah agama. Orang yang beragama akan mempunyai sebuah pegangan yang pasti dalam hidupnya. Dulu aku tak pernah merasakan semua itu ketika aku masih beragama Kristen, atau karena aku dulu masih terlalu kecil untuk terlalu larut dalam agama. Entahlah…Yang jelas aku akan segera merubah prinsip hidupku untuk bermetamorfosis kepad hal yang lebih sempurna.

* * * *
Malam itu aku berbaring di samping ibu yang keadaanya mulai membaik. Aku menerawang langit-langit kamar mengingat kejadian tadi siang di ruang BK. Memang benar apa yang dikatakan pak Hadi bahwa aku tak mungkin melakukan pekerajaan yang sangat tidak mulia itu. Tadi pak Hadi memberikan uang seratus lima puluh ribu kepadaku untuk modal usaha. Tapi usaha apa kira-kira yang bisa aku lakukan? Itu masalah mudah bagiku, yang penting sekarang aku mengusahakan supaya ibu cepat sehat.
"Ibu…bagimana keadaan ibu sekarang,apakah lebih baik?" tanyaku pada ibu.
"Ya,lebih baik."jawab ibu
"Nduk…ibu mau bilang sesuatu pada kamu." Kata ibu
"bilang saja, bu. Ibu perlu apa?" tanyaku
"Ibu tidak perlu apa-apa, hanya…" jawaban ibu terputus.
"Hanya apa, bu?"tanyaku pada Ibu.
"ibu hanya ingin mengatakan bahwa…"jawaban ibu kembali terputus. Tiba-tiba dia menangis. Aku semakin penasaran kepada ibu. Aku mencoba menenangkan diri.
"Ibu…ayolah katakan saja. Ada apa sebenarnya?"aku sedikit mendesak ibu.
"Begini, nak. Sebenarnya kamu bukanlah anak ibu yang sebenarnya." Kata ibu.
"Maksud ibu?"aku melototi ibu.
"Kamu bukan berasal dari darah daging ibu dan bapakmu yang kamu kenal itu,akan tetapi…."ibu tak meneruskan kata-katanya. Dia menangis, menangis pedih. Begitu juga dengan diriku. Jantungku hampir copot mendengar kata-kata ibu.Tubuhku lemas, sumsum tulang punggungku berubah menjadi es. Aku tetap berusaha untuk menenangkan diri.
"Kamu adalah darah daging pengemis-pengemis yang sering kamu lihat itu." sesekali ibu mencoba menahan tangisanya sambil terus berkata, "Pengemis di depan pintu gerbang sekolah itulah orang tuamu yang sebenarnya."
Aku masih diam tak bisa berkata-berkata, dan membiarkan ibu menyelesaikan pembicaraanya.
"Dulu kedua orang tuamu itu melarikan dari desa asalnya karena takut kecaman dari warga sekitar, setelah diketahui bahwa mengandung jabang bayimu dari hasil hubungan gelap." ibu terus tersedu dan terhenti dari pembicaraannya. Dalam kondisi yang begitu lemas masih saja diriku dihantam oleh halilintar malam jika dikatakan bahwa aku adalah anak haram hasil hubungan gelap kedua orng tuaku. Air mataku telah berubah menjadi darah. Malam yang gelap bertambah gelap. Desiran angin malam yang menorobos lewat celah-celah jendela terasa menyayat kulitku, mencopoti tulangku satu persatu.
"Ibu, ayo ceritakan lagi mengapa akhirnya aku bisa bertemu ibu." Dengan lemah aku berkata kepada ibu. Ibu pun mengusap air matanya.
"Saat itu kamu sudah dilahirkan. Orang tuamu pada saat itu sudah menjadi pengemis. Sepertinya mereka sudah tak punya gairah hidup. Mereka benar-benar depresi dengan masalah yang mereka hadapi. Umurmu kira-kira dua bulan. Saat itu juga aku dan suamiku belum punya anak, padahal kami sudah menikah selama tujuh tahun.Kami sangat menginginkan seorang anak yang akan meneruskan generasi kami. Aku sering melihat bayimu yang mungil di pangkuan ibumu. Kamu sering menangis malam-malam, mungkin karena kamu kelaparan. ASI ibu yang kurang makan dampaknya berpengaruh pada bayinya. Demikianlah yang terjadi pada ibumu, dia kurang makan. Selain itu kondisi cuaca di luar sangat tidak baik bagi bayi. Aku benar-benar tak tega melihatmu. Akhirnya aku dan suamiku bersepakat untuk mengambil kamu menjuadi anak asuh.Sejak itulah kamu menjadi anakku." kata ibu panjang.
" Maaf, ibu baru mengatakan sekarang kamu sudah dewasa. Sudah saatnya kamu mengetahui hal itu.Kamu tahu sendiri, ibumu ini sudah tua dan lemah. Jika suatu saat ibumu ini pergi, kamu sudah tahu siapa jati dirimu itu." kata-kata ibu semakin parau dan tergantikan oleh tangisan.Aku memeluk ibu.Aku dan ibu hanyut dalam tangisan malam itu. Kami terus menangis.Tangisan kami baru berakhir ketika fajar mulai menyingsing, menjemput siang.

* * * *

Tubuhku serasa melayang bagaikan kapas yang tertiup angin, lemah, dan mudah terempas, ketika semua orang-orang di dekatku pergi ke alam baka. Dalam kehidupan dunia ini aku sangat menyadari adanya roda kehidupan yang selalu berputar sesuai waktunya. Ketika kedua orang tuaku yang selama ini aku lihat sebagai pengemis pergi untuk selama-lamanya, dan juga orang tua angkatku pergi, aku merasa diri ini benar-benar tak berdaya. Diri ini tak memiliki siapa-siapa. Beberapa saat kemudian, sesuai kehendak roda kehidupan, hadirlah sosok lelaki yang kini menjadi pendampingku yang tidak lain adalah guruku sendiri, pak Hadi.Seorang guru yang dulunya sering aku temui di ruang BK(bimbingan konseling) itulah orang pertama yang telah memberikan kepadaku lentera kedamaian. Dialah oarng yang telah memperkenalkan kepadaku serta mengajariku arti kehidupan dengan iman, islam, dan ihsan. Dialah pahlawanku. Dialah pemberi lentera hatiku.

* * * *
Malam hampir sampai pada paruh akhirnya. Mataku sembab, terlalu pedih oleh nostalgia. Tak sepantasnya jika kita terus memikirkan masa lalu dan masa kini, akan tetapi memikirkan masa depan jauh lebih berate. Perlahan aku bangkit, kucampakkan semua masa laluku.Kubuka pintu kamar. Kudekati suami dan dan buah hatiku yang masih tertidur pulas di sana. Aku merebahkan diri, menyatukan diriku dalam jalinan cinta dan kasih sayang hinga fajar membangunkan kami.



SELESAI