Kamis, 16 September 2010

Phenomenon in Silence


Oleh: Irja Nasrulloh


Aku orang yang paling tak tega melihat pengemis. Beberapa hari ini, pikiranku gundah oleh pengemis yang selalu duduk di samping gerbang masjid Haramain. Wanita bercadar itu selalu datang menjelang magrib. Dia rutin menjalankan aktivitasnya sejak awal Ramadhan.
Hari ini aku bermaksud shalat di masjid Haramain. Aku masih melihat pengemis itu duduk di dekat gerbang. Aku rogoh sakuku, namun hampa yang kudapat. Aku menyesal lupa membawa uang. Ah, dasar manusia pelupa! Aku terus melangkah masuk ke dalam masjid untuk menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Entahlah, sejak rakaat pertama sampai ketiga, aku tak bisa shalat dengan khusyu’. Pengemis itulah yang menggoda shalatku. Wajahnya berputar-putar di kepalaku. Selesai shalat aku cepat-cepat kembali ke asrama. Aku berusaha menepis wajah itu tapi tetap tak bisa. Pengemis itu begitu kuatnya mempengaruhi pikiranku. Siapa sebenarnya dia?
“Mukmin! Kok terbirit-birit kayak dikejar setan gitu, ada apa?” tanya temanku yang juga baru pulang dari masjid.
“Nggak papa,” jawabku sambil ngos-ngosan. Aku terus berlari menuju asrama tempat tinggalku yang sebenarnya letaknya tak jauh dari masjid.
Kini aku tiba di depan pintu flatku. Napasku keluar-masuk tak beraturan. Aku mencoba merogoh saku untuk mengambil kunci. “Duh,gusti…aku lupa bawa kunci,” bisikku. Akhirnya aku mengetuk pintu. Lama, tak ada yang membukanya. Bagaimana aku mengambil uang di dalam kamarku jika tak ada kunci?. Semua penghuni flatku juga pergi. “Ya Allah, Ya Rasul…!!!” aku mengerang. Aku takut pengemis itu pergi.
Aku segera pergi ke idaroh alias kantor asrama, menemui mudir atau direktur untuk minta bantuan. Alhamdulillah, mudir itu memegang kunci flat serta kamarku. Aku bernapas lega setelah mudir kami, ustaz Sofwat, membukakan pintu.
Aku segera masuk kamar. Tas yang tergantung di samping lemari kubuka dengan kasar. Aku temukan recehan di sana, sejumlah tiga pound tujuh puluh lima piaster. Kukecup uang itu. Tanpa basa-basi aku segera berlari menuju gerbang masjid Haramain. Hatiku gembira karena wanita bercadar itu masih di sana.
Terjadi kontak batin yang luar biasa saat aku memberikan uang kepadanya. Bahkan, aku sempat terpaku beberapa saat di depan pengemis itu. Kemudian kutangkap matanya berkaca-kaca. Kalau dilihat dari postur tubuhnya, wanita itu tak seperti wanita Mesir pada umumnya. Kudengar dari suaranya saat dia mengucapakan “Jazakallahu khoiro” padaku, bisa kutebak bahwa dia masih sangat muda. Satu hal yang membuatku heran, kok logat bicara arabnya juga tidak seperti orang Mesir. Jangan-jangan, dia bukan orang Mesir. Ah, aku tak peduli! Mungkin hanya perasaanku belaka.
Aku kembali melangkah menuju asrama. Tiba-tiba hatiku gerimis saat memandangi gedung asrama yang tinggi dan megah. Selama ini aku bisa makan enak, tidur nyenyak, belajar nyaman, mandi bebas, dan lain sebagainya di asrama. Bagaimana dengan wanita bercadar tadi? Apakah dia selalu bisa mengenyangkan perutnya? Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak? Atau…“Gusti…semoga saja sangkaanku salah.”
Sampai di asrama, aku menggabungkan diri dengan jemaah yang sedang iftar. Aku dan juga mahasiswa asing lainnya, terlihat menyatu dengan orang-orang Mesir yang juga melaksanakan iftar di sana. Ramadhan menjadi salah satu momen untuk menyatukan umat.
* * *
Senja ini, bulan purnama menyembul indah dari batas akhir padang pasir. Cahayanya keemasan, menyemburat ke segala ufuk. Sungguh panorama senja yang sangat memukau. Tangkai daun korma yang berada di taman masjid Haramain melambai-lambai, mengucapkan selamat tinggal kepada siang. Malam pun menerobos bumi..
Sehabis shalat Magrib aku tak langsung melaksanakan iftar. Entahlah, akhir-akhir ini nafsu makanku berkurang.
Aku duduk di dekat jendela kamarku di lantai tiga. Aku memandangi pengemis bercadar itu. Dia masih tetap duduk di sana. Sekitar masjid sudah sepi, tak ada orang lain. Memang iftar untuk umum dilaksanakan di asrama.
Aku tak juga bosan memandanginya. Kini wanita bercadar itu bangkit menuju emperan masjid. Dia mengambil sesuatu dari plastik hitam kecil yang dibawanya. Seperti sebuah kain. Benar, tak lama kemudian dihamparkannya kain itu menghadap kiblat. Ternyata wanita itu melaksanakan shalat. Pengemis salihah!
Entahlah, aku tak mau bergeser sedikit pun dari tempatku. Aku masih memperhatikannya. Kini pengemis itu telah selesai shalat. Kulihat dia menengadahkan kepalanya dan tangannya diangkat ke atas seperti sedang berdoa. Beberapa saat kemudian, dia seperti menangis. Tubuh yang tertutup kain hitam itu terus terpekur meronta pada Sang Pencipta. Itulah phenomenon in silence1) yang membuat jiwaku bergetar hebat serta mampu merapuhkan tubuhku.
Aku segera beranjak dari tempatku dan mengambil sebungkus makanan dari maidaturrahman2) yang diberikan temanku tadi sore. Aku ingin memberikannya untuk pengemis itu. Aku segera keluar dari kamar dan berlari menuju masjid. Karena tergesa-gesa, kakiku tersandung dan brukk….aku terjatuh. Aku meringis kesakitan. Beberapa saat aku tak bisa bangkit. Aku menoleh ke kanan-kiri, tak ada siapa-siapa. Bagus, berarti tak perlu menanggung malu, batinku. Bagaimanapun, kupaksakan berdiri sambil menahan sakit. Aku berjalan pelan-pelan menuju gerbang masjid Haramain.
Kuedarkan pandangan, tapi tak melihat wanita bercadar itu lagi. Aku terhenyak. Aku justru melihat seorang wanita muda berparas asia. Dilihat dari wajah dan cara dia berpakaian, aku yakin bahwa dia orang Indonesia. Tanpa ragu aku bicara padanya dengan bahasa Indonesia.
“Permisi, Indonesia ya?” tanyaku. Dia terdiam dan tak menjawab. Aku pun bertanya lagi.
“Apakah Anda melihat wanita bercadar di sekitar sini?” ia tak juga menjawab. Aku jadi salah tingkah. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Atau mungkin dia bukan orang Indonesia, batinku. Aku mencoba bertanya lagi dengan bahasa Arab.

“Lausamahti, anti andunisiyah?” dia juga tak memberi tanggapan apa-apa. Refleks saja, aku mengganti pertanyaanku dengan bahasa inggris.
“Excuse me, are you Indonesian?” aku tunggu, tak ada tanggapan apapun dari wanita berbusana merah jambu itu. Dia menunduk, dan mulai menangis terisak-isak. Ada apa dengan wanita ini? Aku menghela napas panjang. Aku tunggu wanita itu sampai berhenti dari tangisannya. Setelah lama kutunggu, dia justru beranjak pergi sambil mengucapkan salam. Aku memandanginya sampai keluar dari gerbang masjid.
* * *
Beberapa hari kemudian…
“Mukmin, kamu dipanggil ustaz Sofwat,” kata Iyan, teman sekamarku.
“Ya, sebentar!”
Tak lama kemudian, aku menemui ustaz Sofwat. Dia memberitahuku bahwa ada seorang wanita sedang menungguku di depan asrama. Wanita, siapa dia?. Dengan rasa heran aku begegas keluar asrama. Benar apa yang dikatakan ustaz Sofwat, di depan asrama berdiri seorang wanita muda berpakaian merah jambu. Bukankah dia wanita yang kemarin aku temui di depan masjid Haramain itu?. Aku mendekatinya.
“Assalamu’alaikum.” kataku.
“Wa’alaikumussalam.”
“Gimana kabar, Mas?” tanya wanita itu mendahului.
“Alhamdulillah baik.”
“Ini ada bingkisan khusus buat Mas,” kata wanita itu sambil memberikan bingkisan warna merah.
“Dari Anda?”. Dia tak menjawab, namun justru tersenyum.
“Terima kasih,”
Wanita itu pamit sebelum aku sempat bicara lebih banyak lagi dengannya. Aku hanya memandanginya tanpa kata. Aku tak tahu, skenario apa yang sedang Allah subhanahu wa taala jalankan untukku.
Aku masuk ke dalam kamar. Kubuka bingkisan itu. Ternyata isinya semangkuk soto ayam yang dibungkus rapat, juga beberapa tempe goreng yang dibungkus plastik. Aku geleng-geleng kepala dan senyum-senyum sendiri. Di dalam bingkisan itu juga terselip sepucuk surat. Kuambil dan kubaca surat itu.
Salam.
Langsung saja…
Maaf bingkisannya mungkin kurang menarik. Tapi, inilah yang bisa saya berikan untuk Mas.
Begini, saya hanya ingin menjelaskan, wanita bercadar yang selama ini di pinggir gerbang masjid Haramain itu adalah saya. Sejak tahun lalu saya menjalankan pekerjaan ini selama bulan Ramadhan. Saya kira tak perlu saya menjelaskannya lebih panjang, mengapa saya mau menjalankan pekerjaan yang hina tersebut. Inilah saya, satu dari rakyat Indonesia yang berada di garis kekurangan. Maafkan saya, Mas…saya tak bisa menjelaskan lebih banyak lagi.
Sekian saja, terima kasih banyak atas bantuan Mas.
Wassalam.
Muslimah,
mahasiswi Al-Azhar Kairo. [SaWi FM]
* * *
1)Phenomenon in silence : fenomena dalam keheningan
2)Maidaturrahman : Makanan Gratis untuk buka puasa yang biasanya diberikan oleh para dermawan mesir