Jumat, 19 Maret 2010

Mencari Tuhan (Part 1)

Oleh:Irja Nasrulloh

Suara petir menggelegar hebat sore itu, memecahkan setiap gendang telinga. Sebentar lagi turun hujan. Aku, istri, dan anak-anakku duduk di ruang tengah, menikmati kopi susu panas dan sepiring pisang goreng hangat. Memang kalau sore-sore seperti ini adalah suasana yang aku dambakan, bisa berkumpul dengan istri dan anak-anakku. Hujan pun benar-benar turun membasahi bumi yang baru saja dipanggang matahari. Acara Metrotv masih live menyiarkan berita-berita mancanegara, mengekspos tentang berbagai kemajuan-kemajuan barat yang dicapai pada masa kini. Aku sendiri tak tertarik dengan berita-berita tersebut, soalnya aku tahu apa yang terjadi sebenarnya di dunia barat. Aku tahu bahwa dunia barat menyimpan benang kusut, di balik tirai kemajuan-kemajuannya tersebut. Aku sendiri adalah orang barat.

Aku dilahirkan di Berlin, Jerman, pada musim semi empat puluh tahun yang lalu. Ayahku seorang direktur perusahaan tekhnologi terbesar di Hamburg. Sedangkan ibu, hanya sebagai ibu rumah tangga yang tak banyak mempunyai aktivitas. Dia sudah lama menderita kangker rahim setelah kelahiranku. Ayah dan Ibuku, keduanya atheis.
“Aku paling muak mendengar suara-suara yang mengatasnamakan agama.” Itulah kalimat yang pernah aku dengar dari ayahku. Kalimat itu kini telah menjadi embrio yang tumbuh dan membuatku tahu akan arti agama. Kalimat itu juga yang telah membuatku berselancar di dunia ini, dari Jerman-Vatikan-India-Cina-Suriah-Mesir- Indonesia. Semua negara tersebut kuarungi berawal dari rasa penasaranku pada makna sebuah agama. Mengapa ayahku sampai melontarkan kalimat tersebut? Mengapa ayah dan ibuku, keduanya tak mau mengenal Tuhan? Apakah sebenarnya agama itu?
Inilah sekilas catatan perjalananku.

Vatikan, 1990.

“Krekk…” pintu terbuka. Joseph Mees datang dengan wajah berkeringat. Dia baru saja dari kuliah pendalaman Injil, Universitas Vatikan, yang letaknya tak jauh dari monumen Basilika Santo Petrus. Ia kemudian duduk di kursi malas, sambil mengelap wajahnya dengan tissue.
"Men, panas? Ada biscottata di lemari es." kataku pada Joseph.
Ia pun menanggapi tawaranku dengan hambar. Kini ia berdiri dan berkata,
"Hari ini ada tambahan ilmu baru dari dosen Albert Malcolm, tentang penyaliban."
"Apa yang baru?" tanyaku sambil menikmati kesegaran dan kelezatan biscottata.
"Penyaliban Yesus adalah penyaliban kemanusiaannya, bukan ketuhanannya." katanya.
"Benarkah? Ini sungguh tidak masuk akal." sangkalku.
"maksudmu?" tanya Joseph.
"Dulu, dosen itu pernah bilang bahwa sifat ketuhanan dan kemanusiaan Yesus adalah menyatu di tubuhnya. Alasannya adalah kemanusiaan Yesus sajalah yang paling bersih, yang pantas menebus dosa seluruh manusia di muka bumi ini. Dia bukan manusia biasa, melainkan penjelmaan Tuhan. Tapi, sekarang dosen itu mengatakan bahwa yang disalib hanya sisi kemanusiaannya saja. Bagaimana dikatakan menyatu?" kataku panjang.
“Krakk!!!” Joseph membanting kursi ke lantai.
"Ini adalah keputusan gereja. Itu semua adalah misteri Tuhan. Terkutuk jika kau ingin mempermasalahkan ketuhanan Yesus!!!" suara Joseph menggema, melontarkan kata-kata yang berapi-api. Wajahnya merah, matanya melotot, dan kedua tangannya mengepal. Kini ia berjalan ke arahku. Aku diam sambil tetap membawa gelas yang masih berisi biscottata. Kini ia sudah dekat di depanku. Ia mengayunkan tangannya ke arahku, dan “prakk!!!” Aku melemparkan gelas yang berisi biscottata ke wajahnya, sebelum kepalan tangannya sempat bertengger di wajahku. Ia mengerang. Wajahnya berlumuran biscottata. Ia sempoyongan, dan hampir saja jatuh ke lantai, tapi aku segera menangkapnya. Kini ia lemas.

Begitulah sifatnya yang sangat fanatik terhadap agama kristen. Jika aku sedikit menyangkal perkataannya, tanpa ragu ia akan membanting dan menghancurkan benda-benda di sekitarnya. Ia sangat kuat menggenggam dogma gereja yang banyak mengandung kepalsuan. Yang namanya dogma atau doktrin, terkadang tak mengenal aturan logika akal. Dogma bersandar pada pemaksaan keyakinan yang tak berdasar pada pengetahuan; dan pemaksaan keyakinan tanpa pengetahuan, terkadang tak mengandung kebenaran sama sekali.

Hari-hariku di Vatikan penuh dengan pertanyaan mengenai ketuhanan Yesus dan masalah-masalah kekristenan, seperti penyaliban, dosa warisan, pengampunan dosa, dll. Bagaimana mungkin seorang anak baru lahir langsung terbebani dosa warisan? Mengapa para biarawan dan biarawati tidak menikah? Bukankah menikah adalah jalan untuk meneruskan keturunan? Bukankah manusia diberi nafsu oleh Tuhan, dan tugas manusia hanya mengendalikan nafsu, bukan membunuhnya. Semua ini sungguh tidak masuk akal. Orang-orang Kristen sering membuat alasan bahwa hal tersebut misteri Ilahi, bahwa hal tersebut misteri Tuhan. Sungguh, hatiku berontak ketika mengetahui bahwa teologi agama Kristen ternyata banyak bertentangan dengan akal sehatku.

Pertengahan bulan sepuluh tahun 1992 aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Kapel Sistina, sebuah gedung warisan kebudayaan penting di Vatikan, seminggu sebelum kumengangkat kaki dari bumi Vatikan menuju India. Aku mengucapkan terima kasih pada Vatikan yang telah memberiku berbagai kesan, termasuk kesan-kesan kontra pendapat dengan Joseph, teman satu kosku itu. Bye-bye Vatikan…
Bersambung....