(Sekadar Coretan Kisah Nyata)
Entahlah, malam ini aku ingin bercerita. Ya,
benar, aku ingin bercerita. Tak tahu, ilham apa yang membimbingku untuk duduk
manis di depan monitor. Tak tahu,
bisikan apa yang mampu menyihir jari-jariku untuk memijit-mijit tombil
keyboard.
Baiklah, kalau boleh jujur, sebenarnya aku
tak terlalu suka curhat. Yah, mungkin sekali-kali nggak papa ….Yang jelas, aku
ingin berbagi cerita. Inilah diriku, seonggok daging yang dilengkapi dengan
organ-organ tubuh dan tentunya bernyawa. Allah memang telah menakdirkanku untuk
hidup di dunia ini dan akhirnya bisa bertemu kawan-kawan melalui rangkaian
kata-kata ini.
Sejatinya, namaku memang cocok dengan tempat
kelahiranku, Irian Jaya (IRJA). Lagi-lagi memang takdir, kenapa aku harus lahir
di sana , di
Abepura, Jaya Pura, Irian Jaya?! Jika mengingat cerita ortu dulu, maka sifat
laki-lakiku menjadi cengeng dan luluh. Bagaimana tidak, saat aku bayi, aku
sudah sering di bawa keluar rumah malam-malam, diletakkan di dalam gerobak (nggak
tahu pasti, gerobak kayu atau apa), mengikuti ibuku yang berdagang. Betul,
ibuku dan bapakku berdagang kecil-kecilan di pusat-pusat keramaian kota Jaya Pura waktu itu. Ibuku
bercerita, bahwa dia pernah juga berjualan jamu. Bagaimanapun aku tak pernah malu,
terlahir dari keluarga miskin. Aku begitu bangga mempunya ortu yang berjiwa
besar dan berhati kaya, mempunyai tekad untuk bertransmigrasi dari Jawa Tengah
ke Irian Jaya, demi menghidupi keluarga, tanpa menengadah dan meminta-minta
warisan harta kakek. Aku bangga mempunyai ortu yang tak gengsi dalam bekerja,
walaupun pekerjaan itu zahirnya remeh, bahkan mungkin hina. Halal dan
keikhlasan merupakan standar yang terpenting! Satu hal yang selalu kuingat,
yang disampaikan ayah waktu itu, “Standar kaya atau tidaknya seseorang itu,
tidak dilihat dari banyak-sedikitnya harta, tapi dilihat dari cara dia
bersyukur kepada Allah,”