Minggu, 04 Juli 2010

Mencari Tuhan (Part 2)


By:Irja Nasrulloh

India-Cina, 1993-1995.

Perjalanan suci masih kulanjutkan, menuju sebuah negara yang terkenal dengan bollywood dan Taj Mahalnya. Di India, kumulai menyelami agama yang sebenarnya pernah kukenal namanya, yaitu agama Hindu dan Budha. Dalam masa yang relatif singkat, aku segera mengerti agama-agama tersebut. Keduanya hanyalah agama filsafat. Tak ada yang tahu pasti siapa pembawa ajaran hindu. Ini yang mulai meragukanku untuk memilih agama hindu. Selain itu, agama ini cukup keterlaluan, karena menganut sistem kasta. Apapun alasan orang-orang hindu, aku tetap tak bisa menerima sistem kasta ini. Mengapa harus ada diskriminasi manusia? Selain itu, mengapa harus ada belenggu reinkarnasi untuk mencapai derajat yang lebih tinggi?
Aku meneruskan untuk memahami teologi Budha. Agama ini tak mempunyai banyak perbedaan dengan agama Hindu. Salah satu perbedaannya yaitu bahwa agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Dalam salah satu ajaran pokok Budha Gautama adalah manusia harus meniadakan nafsu dan hasrat, untuk menuju keselamatan. Ini mirip dengan ajaran Kristen, yang menindas hasrat-hasrat jasadi. Ajaran Budha sebenarnya condong kepada ajaran akhlak.
Aku melanjutkan perjalanan ke negeri Tiongkok, Cina. Di sana, aku bermaksud menemui agama yang diajarkan oleh filosof besar Cina, Kong Hu-Cu. Aku tak terlalu membutuhkan waktu lama untuk memahami agama ini. Menurutku, Ia memang bukan sebuah agama, seirama dengan perkataan Michael H. Hart dalam bukunya " Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah", yaitu sebagai berikut:
“Kong Hu-Cu kerap dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja meleset. Dia jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan ketuhanan, menolak perbincangan alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan yang berhubungan dengan soal-soal metafisika. Dia -tak lebih dan tak kurang- seorang filosof sekuler, cuma berurusan dengan masalah-masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku akhlak.”

Pada pertengahan tahun 1995, aku masih di negara yang mempunyai bahasa resmi mandarin ini. Semua agama yang kutemui selama ini, ternyata tak pernah memuaskan nuraniku.
Malam menutupi negeri Tiongkok. Pukul 23.30, aku masih berada di area Tembok Raksasa Cina. Aku bersandar di tembok bersejarah itu. Mataku menerawang jauh menembus semua benda-benda di depanku. Badan ini rasanya penat sekali, terlalu banyak memikirkan agama-agama yang sudah kupahami. Semuanya tak ada yang mampu meluluhkanku. Apa mungkin aku akan mewarisi keatheisan orang tuaku? Mungkinkah aku akan menjadi manusia yang tak bertuhan? Ah, sepertinya tidak. Alam ini pasti telah diciptakan Pencipta. Semua yang ada di jagad raya ini pasti telah diciptakan Tuhan. Mana mungkin aku hidup di dunia ini tanpa tujuan, pasti Tuhan telah menciptakanku karena suatu tujuan. Tapi siapa Tuhan tersebut? Apakah Tuhan yang diyakini oleh umat Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau..? Sungguh semuanya tak ada yang bisa kuterima. “Tidaaak…!!!” Aku berteriak sekeras-kerasnya malam itu. Suara menggema di sekitar pegunungan Tembok Raksasa Cina. Suara-suara binatang malam pun tiba-tiba terhenti, karena lengkingan suaraku. Tak beberapa lama kemudian,
“Tangkap!!!” Dari sisi kananku, muncul orang-orang berteriak dan berseragam rapi. Mereka berlari ke arahku. Di antara mereka ada yang menggenggam pistol. Aku bingung dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jarak mereka ke arahku tinggal sekitar sembilan meter lagi. Tanpa pikir panjang, aku pun berlari ke arah kiri dan menyusuri jalan di antara apitan Tembok Raksasa tersebut. Aku terus berlari, tanpa mempedulikan paru-paruku yang kian kembang-kempis. Orang-orang itu terus membuntutiku. Aku sedikit memperlambat lariku, kemudian berhenti. Aku menoleh ke belakang, ternyata jarak mereka semakin dekat. Kaki yang telah berlari sekitar tiga kilometer ini, kembali kupaksa lari. Aku terus berlari, tapi malangnya aku tak kuat lagi. Badan ini terasa letih. Tak ada energi yang masuk ke perutku sejak tadi pagi, kecuali satu gelas air putih. Aku pingsan.
* * *

"Tolong, lepaskan aku…" kataku kepada polisi di sebuah ruangan bertuliskan " Just For Criminality". Tanganku diborgol.
“Zai jian…” kata mereka dengan nada ejekan, sambil pergi meninggalkanku sendiri.
Mereka mengiraku sebagai orang gila yang pernah membuat keonaran, seperti yang terjadi minggu lalu di tempat itu. Waktunya sama, pada pertengahan malam. Aku sudah bersumpah berani mati bahwa aku bukan orang tersebut, tapi mereka tetap tak percaya. Aku juga bingung, tak mungkin ada orang gila yang mirip denganku. Entahlah, aku tak tahu.
Sambil tangan masih diborgol dan dalam keadaan payah, aku mencoba bangkit. Aku mengintip ke luar dari celah-celah yang ada di ruangan itu. “Wow, sebuah pemandangan sangat menarik di luar sana.” gumamku. Terlihat sungai Mekong mengalir jernih. Tumbuhan perdu yang sedang berbunga, menghiasi tepian sungai. Warnanya sungguh berwarna-warni. Belum lagi ditambah dengan baunya yang sangat harum, mampu menyihir hidungku. Sayangnya, aku terbatasi oleh ruang, sehingga tak bisa menikmati semua itu secara bebas. Hanya sesekali aku mampu menikmati wangi semerbak bunga-bunga cantik tersebut, lewat hembusan lembut angin Mekong yang menyapa hidungku.
Akhirnya, setelah tiga hari pemeriksaan, aku terbebas dari persangkaan yang menjijikkan tersebut. Mereka tak punya bukti kongkret terhadap semua itu.
Masa-masa akhir di Cina, ternyata aku teringat akan sebuah agama yang belum kuselami, yaitu sebuah agama yang menurut orang-orang barat disebut-sebut sebagai agama pertumpahan darah.
Aku berencana untuk mengunjungi Damaskus, Suriah. Aku mendengar bahwa Damaskus adalah salah satu pusat keilmuan Islam yang masih tersisa sampai saat ini. Akhir tahun 1995, aku meninggalkan Cina dan menuju Suriah.

Suriah-Mesir, 1996-1998.

Aku tiba di Damaskus sore itu. Udara terasa panas. Debu-debu berterbangan. mengabutkan mataku. Suriah masih pada musim panas bulan oktober, dan musim panas di Suriah ini telah dimulai sejak bulan Mei. Di daerah pantai, musim panas sangat panas dan lembab, dengan suhu rata-rata 29˚ C.
Aku disambut oleh kenalanku yang berkebangsaan Jerman, yang ia sendiri sebagai seorang muallaf. Namanya Isa, sebuah nama baru yang disandangnya setelah masuk Islam. Dulunya, ia sebagai seorang katolik roma, yang sangat menghormati dan menyembah Maria sebagai bunda kudus.
"Bienvenido, wie geht's…" sapa Isa kepadaku.
"Sehr gut, danke." jawabku.
Aku dipersilahkan tinggal satu rumah dengan Isa.
Setelah tiga hari istirahat, aku mulai belajar keislaman lewat Isa, temanku. Aku diperkenalkan kepada Al-qur'an berbahasa jerman. Walaupun berbahasa Jerman, tapi di sana masih diikutsertakan bahasa arabnya. Ini sangat berbeda dengan Injil yang aku pelajari waktu dulu. Setiap Injil yang pernah aku lihat, di sana tak diikutsertakan teks bahasa aslinya yang berbahasa Yunani. Jadi, orang-orang secara umum tidak akan pernah tahu jika ada perubahan makna dari teks aslinya. Adapun Al-Qur'an, siapapun bisa merujuk kepada teks aslinya yang selalu diikutsertakan dalam karya terjemahan.
"Isa, aku belum mengerti perbedaan mendasar antara tauhid dalam Islam dan trinitas dalam Kristen, soalnya umat kristen menganggap bahwa agama mereka juga monotheisme. Mereka mengatakan bahwa ada tiga oknum dalam satu." tanyaku pada Isa.
"Memang teori ini sangat bertentangan dengan akal. Banyak orang-orang Kristen yang bingung dengan masalah ini. Karena kebingungan ini, banyak dari tokoh-tokoh Kristen menyikapi dogma "trinitas" melalui ekspresi rasa ketidakpuasan, seperti St.Anselm, yang harus menulis Cur Deus Homo, St. Augustine juga menulis de Trinitate dan menggemborkan slogan: "Credo ut intellegam" (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Begitu juga Tertullian, yang menyatakan: "Credo quia absurdum" (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Hal ini sangat kontra dengan Islam yang menjadikan akal sehat sebagai perantara untuk memahami dzat Tuhan. Jadi monotheisme dalam Kristen tak bisa diterima secara rasional." kata Isa.
“ehm, sebentar...” aku menyela
“apa?”
“Bukankah menurut mereka bahwa teori trinitas seperti sifat air yang bisa menguap, mencair, dan membeku?” kataku.
“Masih ada satu yang belum kau sebutkan, yaitu menyublim. Berarti Tuhan empat donk…” kata Isa sedikit meledek. Aku pun tertawa geli mendengarnya.
“Kalaupun konsep air itu disesuaikan dengan konsep trinitas, maka tak akan pernah mencapai kesepakatan. Ketika aku masih sebagai penganut Katolik, aku mengetahui di dalam Injil yang mengatakan bahwa Yesus makan dan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan, akan tetapi ini sangat berbeda dengan Roh kudus dan Tuhan bapa yang dianggap orang-orang Kristen. Keduanya tidak makan dan tidak mempunyai sifat-sifat kemanusiaan. Bukankah ini menjadi bukti bahwa Yesus tidak sama dengan Tuhan bapa dan Roh kudus. Jadi konsep air tersebut batal.” katanya berpanjang lebar.
"Bagaimana dengan konsep tauhid di dalam Islam?" tanyaku.
"Islam mempunyai konsep tauhid yang jelas. Tuhan di dalam agama Islam, yaitu Tuhan yang absolut. Dia tidak mempunyai anak dan tidak pula dilahirkan. Dia hanya satu, dan tidak ada yang menyamai akan sifat-sifatnya."
“Apakah Islam menghormati para nabi dan rasul? Sebab aku pernah membaca di dalam kitab suci kristen bahwa sebagian nabi dianggap berzina?”
“Tentu, Islam dan menghormati para nabi dan rasul. Umat Islam sangat menghormati nabi Isa as. sebagai utusan Tuhan, bukan sebagai Tuhan. Bahkan setiap umat Islam ynag tidak mempercayai kerasulan nabi Isa, maka dianggap murtad dari agama Islam.” katanya.
Aku terdiam. Aku mengingat betapa orang-orang barat telah menjelek-jelekkan nabi terakhir umat Islam. Muhamad dianggap sebagai nabi yang haus darah, pembawa agama peperangan, hiperseks, dll. Sungguh mulianya umat Islam yang tanpa sedikit pun mencela para nabi, termasuk nabi Isa yang disembah-sembah umat Kristen.
"Oh,ya, apa lagi yang perlu kita diskusikan?" tanya Isa.
"Tidak ada, menyusul." kataku. Kami pun berpisah menuju kamar masing-masing, menyatu dengan kesunyian malam.
* * *

Hari-hariku penuh dengam mulut terkatub. Pikiranku konsen pada masalah-masalah keislaman. Sedikit demi sedikit aku mulai luluh oleh risalah yang dibawa Islam. Aku sungguh tak berdaya melawan kebenaran Islam. Tapi, kadang-kadang juga diri ini bingung dalam mengambil sikap. Aku berpikir seribu kali untuk menentukan keputusanku, apakah memang Islam patut untuk diikuti? Apakah Islam akan aku ikuti? Aku bingung…
Aku tiba-tiba teringat kedua orang tuaku di Jerman sana, terutama ibuku yang sering sendiri di rumah ketika ayahku pergi ke kantor. Ibuku yang menderita kangker rahim itu, kini hadir di benakku. Aku tak tahu mengapa kali ini aku sangat merindukan mereka. Aku anak tunggal pewaris mereka, pewaris perusahaan tekhnologi milik ayahku itu. Akhirnya, kumencoba untuk melupakan semua itu.
Malam, bulan maret 1996, aku keluar rumah. Kutatapi bulan, hamparan bintang gemintang dan langit yang maha luas. Aku berdecak kagum dan berbisik. “sebuah karya agung dari Sang Tuhan.” aku masih menatap langit.
Waktu ini juga aku harus mengambil sebuah keputusan. batinku. Aku masih terdiam dan kemudian berbisik,
“Dengan kesaksian Tuhan, maka aku ikhlas menerima Islam sebagai agamaku.”
Kali ini aku benar-benar mantap dan tak goyah dari pendirianku bahwa Islam akan menjadi agamaku. Islam akan menjadi pedoman hidupku.
Aku kembali menatap langit. Bulan dan hamparan bintang itu seakan-akan mengucapkan selamat kepadaku. Seluruh isi alam seakan-akan ikut bersyukur atas kegemilanganku dalam mengambil sebuah keputusan.
Paginya, aku dibimbing Isa untuk mengucap dua kalimat syahadat, “Tiada Tuhan kecuali Allah, dan nabi Muhammad utusan Allah.”
Perlu diketahui, bahwa keislamanku ini melalui proses berpikir panjang. Aku tertarik kepada Islam karena konsep ketuhanannya yang jelas, teologinya yang mudah dipahami akal, agama yang tidak mengenal kasta, tidak mengenal penyiksaan jasadi, menerapkan pengendalian nafsu bukan meniadakannya, sistem ajaran-ajarannya yang sangat sesuai dengan berbagai sisi kehidupan, dan banyak lagi yang tidak perlu aku sebutkan di sini. Sebagai sang pencari Tuhan, kini aku telah menemukan-Nya di dalam Islam. Terima kasih ya Allah... Tunjukkanlah jalan yang benar untuk hambamu ini. Ya Allah, Aku rela Engkau menjadi Tuhanku, aku rela Islam menjadi agamaku, dan aku rela bahwa nabi Muhammad menjadi nabi dan rasul untukku.

Bersambung…Perjalanan dari Suriah-Mesir-Indonesia.